Rabu, 29 Maret 2017

Kriteria Pemimpin Masa Depan (Telaah Jiwa Kepemimpinan Muslim)

Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida) Gontor


Menyoroti berbagai persoalan kepemimpinan yang muncul dibelahan wilayah, kota dan daerah yang ada di Indonesia saat ini begitu kompleks dan bersifat sustainable (berkelanjutan). Dalam teropong masyarakat, terjadinya persoalan tersebut dalam setiap wilayah di Indonesia karena berbagai sebab; salah satu sebab yang mandasar adalah krisisnya jiwa kepemimpinan yang dimiliki oleh para generasi pemimpin bangsa. Jiwa kepemimpinan yang dimiliki oleh generasi bangsa ini terlampau rapuh dan lemah. Padahal untuk mencapai sebuah keberhasilan dalam kepemimpinan harus memenuhi standar dasar seorang pemimpin yang dapat menghantarkannya mampu bertindak, mengemban, berperan, dan bertanggung jawab terhadap kerja-kerja pokoknya sebagai pemimpin dalam mengektualisasikan visi dan misi Negara. Kepemimpinan sering didefinisikan sebagai kemampuan mempengaruhi kelompok untuk dapat mencapai tujuan. Pertanyaannya bagaimana seorang pemimpin akan menjalankan tanggungjawab kepemimpinanya kalau jiwa kepemimpinanya masih sangat kurang? Dalam essay yang singkat ini, penulis akan mencoba menguraikan beberapa kriteria calon pemimpin masa depan yang elektabilitas kepemimpinanya dapat diterima di tengah-tengah masyarakat.

Menurut kamus Cambride Avanced Learner’s Dictionary; The leadership a person or people in charge of an organization. Secara etimologi, kepemimpinan itu berasal dari kata pimpin atau lead yang mana definisinya, to control of a group of people, a country or a situation. Secara terminologi kata leader/pemimpin tersebut mengandung arti; seseorang yang mengontrol/mengendalikan suatu kelompok atau Negara. Dalam pengertian lain, pemimpin merupakan sebuah kedudukan atau sebuah posisi semata. Maka dalam konteks kedudukan dan posisi harus dimaknai sebagai wadah yang legal digunakan untuk memberikan berbagai pelayanan yang dibutuhkan oleh para bawahannya. Bukan sebaliknya menghalalkan segala cara untuk melegalkan kepamimpinanya dalam mencapai suatu tujuan. Ketika banyak orang yang perpandangan sepertia ini maka dia akan menggunakan kedudukan dan posisinya sebagai langkah negative untuk melanggengkan kedudukan dan posisinya. Hal inilah yang sekarang sedang marak dilakukan oleh para pemimpin yang krisis jiwa kepemimpinannya.

Sebenarnya bagaimanakah kriteria calon pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam kondisi saat ini.? Ibnu Taimiyah dalam bukunya mangatakan bahwa hakikat kepemiminan tidak bisa dilepaskan antara politik dan agama. Andaikata politik tidak diatur oleh agama justeru akan menjadikan politik itu liar dan jauh dari keadilan. Keseluruhan agama adalah pengetahuan dan keadilan. Pernyataan Ibnu Taimiyah ini sebagai dasar untuk memahami kriteria jiwa pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Kepemimpinan memang tidak bisa dipisahkan dari politik, karena mayoritas pemimpin diusung oleh berbagai koalisi politik, walaupun pada kenyataannya banyak juga pemimpin yang muncul bukan dari kader politik itu sendiri. Hal ini dapat kita saksiskan di berbagai Negara dan wilayah di dunia khususnya di Indonesia.

Terlepas dari persoalan politik dan diluar politik, agama merupakan pondasi kokoh dalam suatu kepimpinan. Banyak pemimpin yang mengesampingkan nilai ilahiyah dalam kepemimpinannya. Padahal hal tersebut merupakan pilar utama yang akan mencegah dirinya melakukan berbagai penyimpangan dalam kepemimpinanya. Contoh real yang terjadi korupsi, otoriter, membuat hukum sendiri dan anti kritik. Kriteria pemimpin seperti ini pada dasarnya telah menipu dan merugikan rakyat dan masyarakat.

Untuk menghindari penyimpangan, maka nilai agama harus dihadirkan dalam jiwa seorang pemimpin untuk menjaga keseimbangan roda kepemimpinnya. Ketika seorang pemimpin menyadari akan tugas yang diembannya maka dia akan berfikir bahwa tanggungjawab tersebut akan dinilai bukan hanya dihadapan masyarakat namun juga dihadapan Allah. Dengan menghadirkan peran agama dalam kepemimpinan seseorang masalah keadilan dapat direalisasikan. Sebagai contoh di Indonesia, Ridwan Kamil, sebagai Wali Kota Bandung periode 2013-2018. Siapa yang tidak kenal Walikota Surabaya Risma atau nama lengkapnya Tri Rismaharani yang terpilih sebagi Walikota Surabaya 2010 – Sekarang. Prestasinya yang berhasil menutup lokasi Dolly Warga Tuna Susila (WTS) di Surabaya tepatnya dijalan Putat Jaya Surabaya. Mereka merupakan contoh pemimpin yang bukan hanya cerdas secara Intelektual namun cerdas secara Mental Spiritual. Sehingga mereka mendapat tempat di hati rakyatnya.

Pemimpin yang cerdas dan bijaksana itu adalah pemimpin yang dapat menciptakan integrasi politik, komunikasi dan bekerjasama dengan masyarakatnya. Karena dari kerjasama dan komunikasi yang baik akan mendatangkan kepercayaan dari masyarakat. Maka ketika masyarakat sudah percaya dengan pemimpinnya akan sangat mudah dalam melaksanakan semua program yang dicanangkan.

Seorang pemimpin ditaati dan dihormati bukan karena jabatan mereka. Namun, karena memberikan hak-hak masyarakat serta teagaknya nilai keadilan dalam system yang di pimpinnya. Dalam bahasa lain seperti yang dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa seorang pemimpin itu mempunyai dua tugas, yakni beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan iman. Dan untuk berkhidmat diperlukan ilmu.

Selanjutnya kriteria pemimpin masa depan adalah pemimpin yang mempunyai visi dan misi yang jelas. Serta dia tidak gampang tergoda oleh berbagai keuntungan jangka pendek yang akan menjatuhkan wibawa dan harga dirinya di depan masyarakat. Seorang pemimpin dituntut untuk dapat membaca kondisi masyarakat dan wilayah yang di pimpinnya. Sangat mustahil pemimpin akan memberikan sebuah keadilan yang merata, ketika dia tidak bisa membaca peta wilayah yang dipimpinnya. Pemimpin kadang-kadang tidak pernah melihat keadaaan real masyarakat bawah, atau masyarakat yang hidup di daerah yang sulit untuk dilalui oleh kendaraan. Maka dari itu sebagi pemimpin harus bijaksana dan bertanggungjawab dengan masyarakat bawah, apalagi ketika masyarakat tersebut tertimpa musibah atau bencana alam yang mewajibkan pemimpin untuk langsung turun tangan. Mungkin hal ini dipandang kecil dan biasa, namun hakekat yang sebenarnya bentuk partisipasi pemimpin seperti itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat bawah.

Tingkat keberhasilan seseorang ditentukan pada seberapa tinggi tingkat kepemimpinannya. Tingkat kepemimpinan seseorang juga menetukan seberapa besar dan seberapa jauh tingkat pengaruhnya. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus dapat memberikan pengaruh positif terhadap yang dipimpinnya. Pengaruh positif disini artinya yang dapat menggerakkan jiwa masyarakat tersebut untuk selalu mendukung dan memberikan dorongan moril bagi kepemimpinanya. Pemimpin harus berjiwa besar ketika dia dikritik oleh masyarakatnya. Kritik tersebut harus dijadikan bahan eveluasi dalam mengambil beberapa kebijakan yang lebih baik. Jika seorang pemimpin tidak menerima kritik, saran dan masukan dari rakyatnya, maka dia tidak termasuk pemimpin yang adil dan bertanggung jawab. Padahal dalam menegakkan keadilan dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab besar. Menurut Al Attas terciptanya keadilan karena adab diterapkan. “Loss of adab implies loss of justice” Lawan dari keadilan adalah kezaliman. Ketika pemimpin tidak dapat memberikan keadilan kepada rakyatnya, maka sebenarnya dia sedang menzalimi rakyatnya.

Mayoritas pemimpin pada saat ini hanya haus jabatan dan kedudukan. Sehingga dampak dari kepemimpinannya tidak memberikan hak-hak dan keadilan kepada masyarakat. Berbagai jenis proyek atau bantuan baik itu dari pemerintah pusat dan instansi lain dihabiskan bukan untuk kesejahteraan rakyatnya. Akan tetapi untuk memperkaya dirinya sendiri dan keluarga. Membangun rumah mewah, membeli kendaraan mahal dan malu untuk terlihat sederhana di depan rakyatnya. Stigma dan kondisi seperti ini membuat masyarakat pada saat ini lebih kritis dan selektif dalam memilih calon pemimpin yang yang ideal menurut analisis mereka.

Setelah membaca pemaparan singkat tentang kriteria pemimpin masa depan di atas. Maka penulis mencoba menyimpulkan beberapa poin penting. Pertama, seorang pemimpin harus dapat membawa nilai agama dalam kepemimpinannya. Kedua, pemimpin harus dapat menjalin integrasi politik yang baik dengan masyarakat. Ketiga, seorang pemimpin diharapkan mempunyai visi dan misi yang jelas serta memberikan pengaruh positif bagi masyarakat yang dipimpinnya. Terakhir, pemimpin harus adil terhadap rakyatnya. Karena keadilan akan menjauhkan pemimpin dari kezaliman dan sifat otoritatif.

Diakhir penulisan essay ini penulis berharap kedepan, semoga lahir kader-kader pemimpin muda yang adil dan mlek dengan kondisi rakyatnya. Khususnya di Nusa Tenggara Barat. Sehingga masyarakat tidak merasa kecewa dan dibohongi oleh janji dan dan slogan-slogan keadilan yang memihak rakyat kecil dan orang miskin. Rakyat sekarang butuh pemimpin yang tidak banyak bicara namun banyak kerja. Rakyat butuh bukti bukan janji.

Wallahua’lam bissowab.





REFERENSI BACAAN


Abduh, Muhammad. 1972. al-A‟mal al-Kamilah. Beirut: al-Muassah al-Arabiyah li al-
Dirasah wa al-Nasyr.

Adian Husaini. 2002. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Press.
Ary Ginanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual ESQ, Jakarta: Penerbit Arga.

Adian Husaini. 2002. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Press.

Ibnu Taimiyah.1985. Tugas Negara Menurut Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kamus Cambride Avanced Learner’s Dictionary Third Edition.

Makalah, Bramastiyo Dhieka Anugrah. 2016. Kriteria Pemimpin Dalam Islam, (Menyingkap Problematika Pemimpin Non-Muslim).

Reza A.A. Wattimena. 2012. Menjadi Pemimpin Sejati: Sebuah Refleksi Lintas Ilmu, Jakarta Timur: Evolitera.

Sayyid Quthb.1984. al-Adalah al-Ijtima‟iyah fi al-Islam, terj. Afif Mohammad, Keadilan Sosial Dalam Islam, Bandung: Pustaka.

Syed Muhammad Naquib al Attas. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University.



Jumat, 17 Maret 2017

Resensi buku "AYAH... Kisah Buya Hamka"


Siapa yang tidak kenal dengan Buya Hamka? Sosok nama yang selalu menjadi rujukan para ulama, penulis bahkan pahlawan di seantero Indonesia. Konon, Buya Hamka tidak hanya termashur di negaranya namun juga di asia tenggara. Rekam jejak pemikiran dan perjalanan kehidupannya hingga kini selalu menjadi inspirasi siapapun. Ulama sekaligus sebagai tokoh yang luas akan cakupan ilmunya telah meninggalkan 'legacy' yang hingga kini belum ada yang mempu mengunggulinya baik itu dalam menulis buku, keteguhan keyaninan dan sebagainya.

Buku “AYAH… Kisah Buya Hamka” karya Ifran Hamka, bercerita tentang sosok Buya Hamka yang bukan hanya berperan sebagai seorang ayah bagi keluarganya. Akan tetapi, Buya Hamka juga seorang ulama, cendikiawan, politikus, negarawan, sastrawan, bahkan terkenal dengan ilmu beladiri yang mumpuni.

Bagian satu, pembaca diajak mengenang nasehat-nasehat bijak Buya Hamka tentang kehidupan berumah tangga. Nasehat yang sangat indah bagaimana mempertahankan keluarga agar tidak cerai, suami-istri harus takut kepada Allah. Serta bagaimana menasehati anak agar tidak menjadi anak yang pandai berbohong. (hal 1-11).

Selanjutnya pembaca diajak menelusuri perjuangan Buya Hamka demi menyelamatkan keluarga. Semua dilakukan untuk menghindari cengkraman penjajah Belanda. Pada bagian dua ini penulis juga mengisahkan peran Buya Hamka sebagai seorang ayah, suami, guru ngaji, pegawai negeri, politikus dan pendekar silat. Jiwa keberanian, ketegasan, serta kewibawaannya tetap tidak pernah hilang. (hal 13-55). 

Pada bagian ini, penulis mengisahkan dengan apik bagaimana Buya Hamka dapat berdamai dengan Jin di rumah baru mereka. Keberanian Buya Hamka dalam melakukan dialog dengan makhluk ghaib membuat jin tersebut tunduk kepada perintah Buya Hamka. Kisah tegang sekaligus kocak dalam bagian tiga ini. (hal 57-77). 

Kisah bagaimana Buya Hamka, istrinya (Ummi Siti Raham) dan penulis naik Haji. Peristiwa yang sangat menegangkan, dari Baghdad menuju Mekkah ketika melewati gurun Sahara mereka dikejar oleh angin topan gurun pasir, kemudian tentang supir mereka yang tertidur saat menyetir dan rintangan ketika mereka hampir diterjang air bah di pegunungan granit hitam. Dengan detail dijelaskan penulis dalam bagian empat dan lima. (hal 79-169). 

Di bagian ini penulis begitu piawai menguras air mata pembaca. Bagian enam dan tujuh penulis menjelaskan tentang keluasan pemahaman Buya Hamka terhadap ilmunya agama (tasawuf). Selanjutnya penulis mengisahkan bagaimana akhlak Ummi yang santun dalam bersilaturrahim dengan keluarga. Kesetiaan, ketegaran, kehebatan Ummi dalam menghadapi fitnah dan hinaan. Namun perempuan yang tegar itu terlebih dahulu meninggalkan Buya Hamka. (hal 171-214).

Khusus bagian delapan ini, penulis mengisahkan tentang “si kuning” kucing kesayangan Buya Hamka. Sampai ketika Buya Hamka meninggal si Kuning duduk di atas kuburan majikannya itu. (hal 215-227).

Bagian sembilan, pembaca akan dibuat kagum dengan jiwa besar dan pemaaf seorang Buya Hamka kepada tiga tokoh nasional Soekarno, Mr. Moh. Yamin dan Pramoedya Ananta Toer. Soekarno yang memasukkan Buya Hamka penjara selama dua tahun empat bulan. Namun, diakhir hayat Soekarno, Buya Hamka lah yang mengimami shalat jenazahnya. Mr. Moh. Yamin dari tokoh nasionalis yang menentang keputusan Buya Hamka ketika UUD’45 dengan Dasar Negara Berdasarkan Islam. Namun ketika Mr. Moh. Yamin sakit, Buya Hamka menjenguknya dan membacakan syahadat ketika sakaratul maut. Pramoedya Ananta Toer, melalui koran Harian Bintang Timur memfitnah buku Roman Buya Hamka. Tapi, Buya Hamka berkenan menerima anaknya Pram yang ingin belajar Islam kepada beliau. (hal 229-272).

Pada bagian akhir, penulis mengisahkan bagaimana Buya Hamka mengalami sakit paru-paru, ginjal, otak dan akhirnya meninggal. Dengan dishalatkan oleh ribuan jama’ah sampai dengan proses pemakamannya. (hal 273-287).

Judul Buku  : Ayah… Kisah Buya Hamka
Penulis         : Irfan Hamka
Penerbit       : Republika
Cetakan       : I. Mei, 2013
Tebal           : xxvii + 321 halaman
ISBN           : 978-602-8997-71-3

Diresensi oleh Sofian Hadi, Dosen Universitas Cordova Taliwang NTB Pesantren Al-Ikhlas Taliwang Sumbawa Barat.