Selasa, 31 Januari 2017

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Tujuh)



 Oleh: Sofian Hadi
Malang, 1 Januari 2017

“Santri-santriku. Kalian adalah calon ulama-ulama yang dicetak menjadi Pemimpin, Cendekiawan dan Pengusaha Muslim yang akan membela kepentingan dan perjuanagan Islam. Kalian semua anak-anakku, adalah orang-orang pilihan Allah untuk menuntut Ilmu di Tanah Rabbani ini. Saya ingatkan kepada kalian bahwa jangan seperti Kera Makan Manggis. Siapa yang pernah melihat Manggis? Atau siapa yang Pernah memakan Manggis? Ayo, angkat tangan! Dengan senyuman khas Kiayi Ilham bertanya kepada santri-santriah. Gemuruh riuh bersahut, tak terkecuali aku, Mukhlis, Abridin dan teman-teman sekelas kami. Semuanya bersahut riuhan namun aku heran, tidak ada satupun dari ratusan santri mengacungkan tangan mereka ke atas. Aku bergumam berarti santri-santriah Rabbani tidak pernah memakan Manggis.? Ini artinya kami semua kalah dengan kera-kera yang beruntung memakan manggis itu.

“Kera, kalau makan Manggis maka ia akan menggigit kulit Manggis itu dan akan langsung membuangnya. Ia menganggap bahwa Manggis itu pahit, tidak enak. Padahal di dalamnya ada buahnya yang sangat manis dan nikmat. Maka santri-santriku, kalian ketika belajar di Tanah Rabbani ini jangan seperti Kera Makan Manggis. Baru masuk sehari, ditinggalin orang tua. Mau pulang! Masuk mahkamah bahasa. Mau kabur! Makannya sama kerupuk, tempe, teri, terong. Nangis! Diberi hukuman oleh kakak Mudabbirnya. Tidak betah! Bajunya hilang di jemuran. Nangis! Sandalnya hilang di Masjid. Nangis! Apa lagi.. Kiayi Ilham melempar pertanyaan kepada santri-santriah, akan tetapi semua santri terlihat tersenyum dan malu-malu untuk menyebutkan masalah mereka. Karena apa yang disampaikan oleh Kiayi Ilham benar-benar mereka alami dan rasakan dalam kehidupan di Tanah Rabbani.

“Semua disiplin, hukuman, belajar, makan, mandi, bahkan hidup di Tanah Rabbani ini memang pahit. Namun ketika kalian semua kuat melaluinya dan menghadapinya, maka setelah itu kalian akan merasakan manisnya menuntut Ilmu di Tanah Rabbani ini.” Santri-santriah terlihat menganggukkan kepala masing-masing. Suasana hening dan penuh khusu’ di pertemuan yang penting itu, semua mata tertuju kepada Kiayi Ilham. Ia duduk dengan sorban putih menutup bahu dan pundak beliau, lengkap dengan kopiah hitam dengan wajah bersahaja dan kumis tipis beliau yang khas.

Sekilas kalau melihat Kiayi Ilham Hamid, maka akan terbayang betapa paras beliau seperti Sang Ulama terkenal di seantero Indonesia. Ya. Dialah Buya HAMKA atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Seorang Ulama yang terkenal dengan buku tafsir Fenomenal beliau yaitu tafsir “Al-Azhar”. Sebuah karya yang beliau tulis ketika di dalam penjara pada zaman rezim Presiden Seokarno. Begitulah kira-kira paras dan semangat beliau saat memberikan ceramah dan nasehat baik itu untuk santri-santri beliau dan dihadapan masyarakat umum.

“Sebelum saya mengakhiri nasehat saya pada pagi menjelang sianga ini, sekali lagi saya ingin mengingatkan kepada kalian semua anak-anakku. Apa yang kalian lakukan di Tanah Rabbani ini adalah langkah Jihad dalam menuntut Ilmu, yang nilainya sama dengan Jihad dimedan perang. Kalau kalian meninggal di tanah Rabbani ini, maka kalian adalah syuhada/syahid di jalan Allah layaknya para pejuang di medan perang.” Dengan tenang Kiayi Ilham berbicara di depan kami dan para Ustadz yang hadir pada pertemuan itu. Ya, pertemuan itu adalah kuliah umum tentang cara hidup di Tanah Rabbani.

Waktu menunjukkan tepat pukul sebelas menjelang siang. Setelah kuliah selesai para santri-santriah bubar melangkah menuju ke kamar masing-masing. Aku berdiri di sebelah selatan gedung Baitus Syakur. Yaitu gedung yang baru saja menjadi tempat perkumpulan kami. Gedung yang ber-arsitek elegan namun sebenarnya sentuhan dari komponen jejak budaya tradisional Sumbawa. Gedung ini ber-atapkan dua tingkat bangunan, namun sebenarnya hanya satu lantai. Aku dulu pernah tertipu oleh sihir bangunan ini. Aku mengira bangunan ini memiliki dua lantai, karena arsiteknya yang indah dan nampak dari luar Rabbani, gadunng ini sangat megah dan perkasa. Tapi ketika aku masuk menjadi santri di Tanah Rabbani, aku baru sadar bahwa gedung itu hanya imitasi bangunan elite yang sempurna. Dan benar-benar hanya memiliki satu lantai.

"Ahh.. Gumamku saat itu.. Ini yaa gedung yang terlihat perkasa dari luar itu Rabbani itu?, boleh juga  imitasinya hampir persis sama dengan yang Original" Aku tersenyum sendiri ketika mengingat pertama kali aku melihat gedung itu tepat di depan mataku.

Sejurus kemudian, setelah perkumpulan aku berdiri menunggu kedatangan Mukhlis dan Abridin. Karena sebelumnya kami sudah berjanji setelah perkumpulan itu, kami akan mendatangi Waliul Fashal untuk menanyakan beberapa materi pelajaran Hadist, Tafsir dan Bahasa Arab. Setelah beberapa menit aku melihat Mukhlis dan Abridin datang menghampiriku. Kami pun sepakat berjalan menuju ke rumah waliul Fashal untuk konsultasi dan bertanya tentang mata pelajaran di kelas.

“Apa yang di sampaikan Kiayi Ilham Hamid tadi memang benar. Selama ini aku terlalu cengeng dan selalu memprotes beberapa hal terutama masalah lauk di dapur. Aku membayangkan kalau seandainya aku tidak sabar, maka dihari pertama aku masuk Tanah Rabbani ini pasti aku akan Pulang alias Kabur.” Mukhlis memulai percakapan kami saat munuju rumah waliul Fashal. Dengan expresi muka dan bibir tersenyum ia mengedipkan matanya kepada Abridin.

“Aku tau maksud kamu Lis, kau mencoba mengolok-olok aku kan. Karena kemarin aku duduk sendiri di belakang kelas memikirkan orangtuaku.” Abridin sepertinya menangkap sindiran expressi sahabatnya itu. Ia berlari mengejar Mukhlis sambil mengangkat tangan dan kakinya ingin memukul Mukhlis, namun sejurus kemudian ternyata kaki Mukhlis sudah terlebih dulu mnginjak dua tumpukan kotoran kerbau yang tepat menacap di kakinya. Abridin berhenti mengejar, ia tertawa terpingkal-pingkal melihat Mukhlis berjibaku dengan kotoran kerbau yang masih basah dan hangat itu. Akupun tidak dapat menahan mulutku untuk tertawa lepas. Aku menatap Mukhlis dengan wajah sisnisnya, ia hendak mengejar aku dan Abridin. Namun sebelumnya kami berdua lari terpingkal-pingkal…
Hari yang indah dengan kesan dan jenaka..

Tobe Countinued..

Untuk melihat Bag. Enam Klik Disini

Senin, 02 Januari 2017

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Enam)

https://smaalikhlastaliwang.files.wordpress.com/2014/12/masjid-pondok-al-ikhlas.jpg
 Oleh: Sofian Hadi
Unida Gontor, 2 Januari 2017.

Abridin duduk menyendiri di belakang kelas. Ia duduk di atas bangku panjang ukuran dua meter. Bangku itu memiliki empat kaki penyangga. Waktu istirahat jam kedua itu ia ingin gunakan untuk sejenak merenung. Tatapannya lurus tertuju ke arah gunung Samoan. Gunung itu berdiri tegak. Gagah. Perkasa. Gunung Samoan begitu indah ketika musim hujan menghampiri. Terlihat dari kejauhan tanah Rabbani, pucuk-pucuk daun hijau muda bergoyang riang. Laksana layar kapal pelaut dalam film Popeye the Sailor Man dengan gerakan daun yang mengikuti arah angin berhembus. Akan tetapi keindahan pucuk daun pohon hijau di gunung itu akan berubah menjadi kuning, bak warna kuning padi yang siap panen. Sekeliling gunung itu pada malam hari berubah menjadi Ring of Fire lingkaran api. Seperti itulah takdir Samoan ketika kemarau melanda. 

Tidak terasa sudah sepuluh menit Abridin duduk menyendiri di belakang kelas. Ia sepertinya menyimpan suatu permasalahan dalam batinnya. Permasalahan tentang keluargaanya di Flores sana? Permasalahan dengan teman-temannya? Permasalahan dengan Mukhlis? Atau permasalahan dengan ku. Entahlah.. Namun terkaan-terkaan itu bisa menjadi hipotesa awal dari sebuah permasalahan yang bisa di analisis.

“Assalamualaikum.. Din, kamu sedang apa?” Terdengar suara dari samping tembok kelas menuju belakang, tempat Abridin duduk menyendiri. Ia sepertinya tidak mengindahkan salam itu.

“Assalamualaikum.. Abridin.!!”

“Waalaikumsalam.. Eehh.. Kamu Lis.” Dengan suara kaget Abridin menjawab salam dari Mukhlis.

“Kamu sedanga apa Din.? dari tadi aku mencari kamu ke syirkah, marth’am, hujroh, maktabah, tidak ada. Ternyata kamu disini. Kalau ada masalah jangan simpan sendiri, tidak baik dipendam sendiri, siapa tahu aku bisa membantumu.” Mukhlis mencoba menawarkan empati.
“Atau kamu masih marah dengan aku, karena kepalaku tidak di gundul..?”

”Bukan,, bukan Lis, aku tidak marah dengan kamu, aku hanya memikirkan kedua orangtuaku di kampung sana. Pasti sekarang mereka sedang sibuk membajak di sawah, dan bapak sendiri yang bekerja, karena ibu hanya bisa mengantarkan nasi untuk bapak saja. Sementara aku disini bermain-main dan selalu melanggar disiplin, belajar juga tidak beres dan bahasa arab ku masih sangat kurang.” Abridin mencoba menceritakan masalah yang dipendam kepada sahabatnya.

“Aku sudah menduga, pasti kamu sedang membayangkan kedua orangtua mu, terlihat dari tatapan wajahmu memandang gunung Samoan yang hijau itu. Sebenarnya aku berfikir layaknya kamu Din, aku juga membayangkan orangtua ku yang sedang bekarja mencari nafkah untuk ku, namun seperti kata Pak Kiayi Ilham ketika pertama kali kita masuk ke tanah Rabbani ini, kalau tidak salah di acara Kuliah Umum tentang Kepesantrenan beliau mengatakan: 

“Anak-anak ku kalian masuk kedalam tanah Rabbani ini sebagai mujahid-mujahid Islam, kalau kalian mati maka kalian Syahid di jalan Allah, karena kalian sedang menuntut Ilmu,

 
مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ اْلعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Barang siapa yang keluar rumah untuk mencari ilmu maka ia ada di jalan Allah hingga ia kembali.” (HR. Tirmidzi No 2575).

“Beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa tugas kita disini hanya belajar dan mendo’a kan kedua orangtua kita yang sedang bekerja” jelas Mukhlis dengan panjang lebar. Mukhlis hanya ingin menghibur sahabatnya yang sedang di himpit masalah dan lara itu.

“Ia Lis, aku lupa kalau pesan pak Kiayi Ilham waktu itu luas akan lautan hikmah, aku lupa mencatatnya di buku catatanku, tapi pesan yang paling aku ingat adalah Jangan seperti pengikut Colombus mereka tidak percaya dengan Colombus dan akhirnya sebagian dari mereka memilih untuk turun dari kapal itu.” Terang Abridin dengan wajah tiba-tiba sumrigah.

“Ia Din, aku setuju dengan kamu, bahwa kita jangan sampai seperti pengikut Colombus, kita jangan sampai menyerah untuk belajar, kita harus semangat, dan kita harus sering mendo’akan orangtua kita Din.”
“Ya Lis, terima kasih sudah membantu ku dalam masalah ini”
“Sama-sama Din, semoga Allah selalu menjaga Pak Kiayi Ilham, Ustad-ustad dan orangtua kita semua”
Amiin..
Suara Jaros pagi menjelang siang itu memekik telinga, kedengarannya bahkan sampai ke Kemutar Telu Center di Kota Taliwang. Mereka pun mengakhiri curhatan dan nasehat masing-masing. Sejurus kemudian, terdengar derap sepatu para santri mulai datang ke kelas masing-masing, untuk menerima pelajaran setelah istirahat jam ke dua.

To be Continued.
Untuk Melihat Bag. Lima klik disini