Selasa, 22 Oktober 2019

Selaksa Hikmah dari Kisah Mahasiswa Unida


 Oleh: Fadhil Sofian Hadi
Mahasiswa Universitas Darussalam (Unida) Gontor


Pagi menyapa kampusku. Seperti biasa, matahari tetap cerah melempar dedaunan dan genting-genting gedung. Aku menyibak gorden biru yang sedari tadi mulai melambai pelan diterpa semilir. Ternayata jendela masih terkunci. Lantas, kusekap jendela minimalis itu dan kulepas pengaitnya. Siraman kesejukan yang telah lama menunggu kedatanganku dari masjid tiba-tiba berhamburan menggulung memenuhi setiap ruang kamarku. Segeer, fresh, adem. Bak menghirup semerbak kesejukan pagi gunung Samoan musim semi, saat menyapa almamaterku tanah Rabbani al-Ikhlas Taliwang.

Tidak ada kuliah umum setelah subuh tadi di masjid. Hanya kajian ba’da subuh di teras masjid yang diikuti oleh mahasiswa santri dari jurusan dan fakultas berbeda. Terlihat juga beberapa mahasiswa yang membaca dan menghafal beberapa bait Qur’an. Mereka saling berhadapan. Sesekali, mahasiswa itu menutup dan membuka, menutup dan membuka lagi qur’an saku di genggaman masing-masing. Begitu juga dengan mata mereka, kadang tertutup, terbuka dan begitulah seterusnya. Hingga mereka dapat menghayati hafalan masing-masing. 

Najib al-Rahmman al-Falistiny, sekamar denganku. Mahasiswa berpaspor Palestina itu sudah beberapa bulan berdiaspora ke Indonesia dan dia memilih kampusku menjadi pelabuhan intelektualnya. Sebelumnya, dia adalah lulusan Mesir dan lulusan Malaysia. Berbekal semangat menuntut ilmu, dia kembali berkutat dengan dunia akademik dan melanjutkan pengembaraannya manjadi mahasiswa Magister Bahasa Arab. Yang patut di contoh darinya, semangat thalabul ilmunya tinggi. Ragam kisah dan cerita menghiasi diaspora kegigihannya menuntut ilmu ke negara lain. Keluarganya telah tiada. Bom subuh hari telah merenggut nyawa orang-orang yang sangat dicintainya. Matanya berkaca-kaca jika menceritakan kejadian mengerikan itu.  Mungkin suatu hari, aku akan menulis panjang lebar tentang kisah hidupnya. 

Baiklah.. Kita lupakan sejenak masalah Najib dan fokus membahas selaksa peristiwa. Tepatnya, ini adalah hari Jum’at. Mahasiswa santri dikampusku semuanya libur. Hanya libur dari rutinitas perkuliahan hari aktif. Namun, kagiatan tidak pernah libur. Sederet kegiatan extra, olah raga, olah jiwa, olah fikir dan olah rasa sudah menanti. Padat dan pastinya bermanfaat. Sepadat apapun kegiatan, akan terhenti ketika gelombang suara toa masjid mengirim sinyal dengan tilawah ayat suci al-Qur’an, yang dilantunkan merdu oleh mahasiswa dengan profesi tinggi ‘ta’mir masjid’. Lantunannya mampu merubah keadaan dan kehidupan kampus seketika. 

Pukul 11 menjelang shalat Jum’at, sinar sang surya mulai terik. Suasana kampus lengang sejenak. Satu dua Mahasiswa santri mulai bergerak melangkah ke masjid, tak terkecuali aku. Jarak masjid dengan asrama kurang lebih tiga ratus lima puluh meter. Aku mendatangi masjid lebih awal. Dengan niat ingin mendapat tempat di shaff pertama. Sebab pahala shaff pertama seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits Bukhari seolah berkurban seekor unta. Serta hendak meniru semangat Said bin Musayyib shalat jama’ahnya selama kurang lebih 40 tahun dan tidak pernah melihat pundak orang saat berjamaah selama 30 tahun.  Atau al Hafidz Ibnu Asakir yang selalu berada di shaff terdepan saat shalat berjama’ah selama 40 tahun. Subhanallah.  Semoga kita dapat meniru para sahabat-sahabat itu dalam beribadah. Atau sekurang-kurangnya kita dekat dengan amalan-amalan mereka. 

Singkat cerita, shalat jama’ah Jum’at pun selesai ditunaikan. Ribuan jam’ah Mahasiswa santri, dosen serta para karyawan kampus berhamburan keluar masjid. Aku melangkah balik ke Asrama dengan tidak tergesa-gesa. Terik dan sengatan matahari memaksaku menutup kepala dengan sajadah. Jalan berpasir itu melepuh menahan panas. Ku lihat paving block menguap tersengat terik. “Kalau saja sandalku di ghosob  tamat sudah riwayatku” bisik hati kecilku. Harapan yang tidak diharapkan. Akan tetapi, hal tak terduga terjadi tepat di depan mataku. 

Tanpa sengaja aku terperangah melihat seorang Mahasiswa yang berjalan menuju asrama tanpa alas kaki alias nyeker. Ia berjalan mencoba mendahului. Perawakannya dengan ciri khas mahasiswa santri berseragam kopiah hitam, baju koko di balut jas abu-abu. Ia benar-benar tak beralas kaki!. “Mungkinkah sandalnya di ghosob?” Wow. Padahal baru saja aku banyangkan hal tersebut tidak terjadi padaku, namun sebaliknya hal itu terjadi pada orang lain. Sejenak aku merenungi takdir. Apapun bisa terjadi jika Allah berkehandak. Aku dihadapkan pada pelajaran pertama. 

Hal lain diluar duagaanku juga terjadi. Tidak ku lihat tampang marah dimuka Mahasiswa tadi. Wajahnya sumringah seperti tidak terjadi apa-apa. Ia tertawa lepas sembari merangkul teman disampingnya. Aku mendengar mahasiswa lain bertanya. “Sandal ente kena ghosob sul?” Namun ia acuh. Tak menaggapi pertanyaan remeh itu. Ia hanya fakus bicara sambil merangkul pundak teman disampingnya dengan ngobrol renyah. Aneh pikirku. Seharusnya mahasiswa itu marah, atau mengeluarkan sumpah serapah ke temannya. Atau lari terbirit-birit karena malu tak beralas kaki. Tapi hal itu tidak terjadi dan tidak ia lakukan. Sebuah sikap sabar dan tetap tenang ia tunjukkan terhadap masalah yang menimpanya. Pelajaran kedua bagiku.  

Mungkin selaksa peristiwa  Jum'at itu, akan berbeda jika  terjadi di tempat lain. Pastinya akan sangat berbeza (kata penyanyi Malaysia). Marah, mukanya memerah, kakinya bergetar, atau tangannya mengepal sambil bergumam pedas "Siapa yang ghosob (curi) sandal  saya? Awas!! Kalau ketemu aku habook" Atau dengan ungkapan lain "Kurang ajar, kok bisa setelah shalat nyolong? dasar Maling!" Sambil mengumpat nama-nama binatang. Kemudian pulang dan berjalan dengan penuh dendam. Biasanya, itulah realitas convensional jika sandal jadi korban ghosob di masjid. Berdasarkan pengalaman dan pengamatanku. Dan wajar saja, begitulah watak manusia jika dihadapkan pada masalah yang tidak diinginkan. Lama ingin berdamai dengan amarahnya. Sudah menjadi realitas umum. Bagiku ini masuk sebagai pelajaran ketiga.

Setelah melihat tingkah laku Mahasiswa itu, aku tersenyum sendiri. “Ada ya mahasiswa Unida kayak gini!” gumamku terharu dan kagum. Mahasiswa misterius itu terus saja berjalan santai menuju asrama, seperti tidak merasa ada yang janggal di tapak kakinya. Jalan ke asrama semakin dekat. Terik semakin menyengat. Kembali aku melempar pandang. Namun kali ini ada yang beda. Kulihat ia mulai berjalan cepat. meninggalkan teman rangkulannya tadi. Semakin lama semakin kilat, lantas berlari jinjit saat menginjak paving block yang ber-uap itu.

Dalam sekejap bayangannya manghilang dibalik tembok asrama. Aku kembali tersenyum lebar. Semakin menambah kekagumanku padanya. Dan berharap kakinya baik-baik saja. Dalam diam aku berbisik “Sepertinya saudaraku itu mulai lelah”. Dan aku yakin pahalanya pasti berlipat-lipat ganda.
  
Semoga ada sepercik hikmah yang bisa dipetik dari kisah ini. 

UNIDA Gontor. The Fountain of Wisdom.