Senin, 15 Januari 2018

Argumen Cerdas! Dr. Zakir Naik "Debat Islam Vs Non-Islam"


Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida) Gontor


Hai pembaca hadiblog semua, semoga antum dalam keadaan sehat wal afiat. Amiin
Edisi blog kali ini tentang resensi buku yang ditulis oleh da'i Islam terkmuka di dunia.  Kalau kalian sedang kantong kere' alias (kanker) dan belum sempat memiliki bukunya, tidak mengapa membuang waktu membaca resensi ini. Insyaallah, yang nulis juga orang yang pernah berhadapan langsung dengan penulis buku ini. Hehe.. Promosi dikit-dikit nggak  pa pa kan.

Ok. Kita mulai..

Buku ini merupakan terjemahan dari buku aslinya berjudul " Zakir Naik Answer to Non-Muslim’s Common Questions about Islam". Berisikan argumen cerdas Dr. Zakir Naik yang membuat orang tercengang bahkan masuk Islam. Sosok Zakir Naik, adalah pendiri dan Presiden Islamic Research Foundation (IRF) yang menyiarkan jaringan saluran TV gratis, Peace TV dari Mumbai, India. Siarannya bahkan telah ditonton ratusan juta orang dari berbagai benua Eropa. Dalam edisi Februari 2009, Indian Express membuat daftar “100 orang India Terkuat 2009”. diantara satu miliar penduduk India Zakir Naik masuk peringkat 82.

Dalam buku ini beberapa argument yang disampaikan oleh Dr. Zakir Naik sangat logis dan mudah di pahami oleh semua kalangan. Baik itu dari kalangan ahli agama, akademisi, pelajar bahkan orang awam tentang agama sekalipun. Buku ini terdiri dari tujuh Bab. Dalam setiap bab telah ditentukan temanya masing-masing.
 Photo bersama Mahasiswa Pascasarjana, menjelang acara Dr. Zakir Naik di Unida Gontor



Pada bagian Pertama buku ini membahas pertanyaan seputar Keimanan. Beberapa pertanyaan tentang apakah kaum muslimin menyembah ka’bah? Dalam menjawab pertanyaan ini, Dr. Zakir Naik menegaskan bahwa Ka’bah adalah kiblat. Yaitu arah kaum muslimin menghadap dalam shalat mereka. Permasalahan yang paling keliru yang dituduhkan orang Non-Muslim adalah menganggap bahwa kaum muslim menyembah Ka’bah. Padahal kaum muslimin hanya menghadap ka’bah bukan menyembahnya. Kaum Muslim itu hanya menyembah dan bersujud kepada Allah. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 144. (Hal-11) 

Selanjutnya, Dr. Zakir Naik memberikan penjelasan tentang pertanyaan. Mengapa harus memilih Islam? Beliau menjawab pertanyaan ini dengan Agama Islam memperhitungkan sifat manusia dan kompleksitas masyarakat manusia. Islam adalah bimbingan dari Sang Maha Pencipta. Oleh sebab itulah islam disebut juga Dinul Fitrah (Agama fitrah Manusia). Islam adalah cara hidup terbaik karena ajaran-ajarannya, bukan retorika doktriner, melainkan solusi praktis bagi permasalahan umat manusia.(Hal -24)

Sedangkan pada bagian Kedua dari buku ini menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar wanita seperti Poligami. Dalam menjelaskan masalah Poligami Dr. Zakir Naik mengatakan bahwa satu-satunya kitab suci di muka bumi yang yang mengatakan “Nikah satu saja” adalah Al-Qur’an konteks frasa ini terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 3. Kemudian beliau melanjutkan dengan surat An-Nisa ayat 129. Serta menyimpulkan bahwa Poligami bukan kebiasaaan melainkan perkecualian. Banyak orang yang salah persepsi tentang Poligami bahwa mereka Non-Muslim menyangka seorang muslim wajib mempunyai istri lebih dari satu. (Hal -47)

Kang Hadi, ketika bertanya kepada Dr. Zakir Naik


Jika pembaca ingin melihat pertanyaan kang Hadi kepada Dr. Zakir Naik. Silakan klik disini

Bagian Ketiga, Dr. Zakir Naik menjawab pertanyaan seputar makanan dan minuman. Misalnya, pertanyaan haramnya daging babi. Dr. Zakir Naik memberikan elaborasi dengan memberikan reverensi tentang mengkonsumsi daging babi dari Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 173, Al-Maidah ayat 3, Al-An’am ayat 145 dan An-Nahl ayat 115. Daging babi juga haram dalam Bible disebutkan dalam kitab Imamat “Demikian juga babi karena berkukuh belah, kukunya bersela panjang. Dan jangan kamu makan dan bangkainya jangan kamu sentuh (Imamat 11:7-9). (Hal- 71)

Selanjutnya pada bagian Keempat, Dr. Zakir Naik menjelaskan pertanyaan tentang Terorisme dan Jihad. Seperti, apakah Islam disebarkan dengan pedang? Beliau memberikan penjelasan panjang lebar tentang persepsi Islam disebarkan dengan pedang. Padahal Islam itu dari akar kata dari salam yang artinya damai. Kalau Islam agama yang disebarkan dengan pedang, maka Islam tidak akan mungkin memiliki miliaran pengikut sampai sekarang. Dr. Zakir Naik juga menjelaskan kalau kekeliruan pendangan ini dijelaskan oleh sejarawan terkemuka De Lacy O’Leary dalam “Islam at the Cross Road” halaman 8.

Lebih lanjut beliau menjelaskan dimana ada Islam maka disitulah akan terbangun Peradaban yang damai. Lihatlah ketika Islam memerintah di Spanyol, Mesir, India, Afrika Timur, Indonesia dan Malaysia. Dan tidak ada pasukan muslim satupun yang ingin berperang melainkan jika musuh melawan. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 256. (Hal-95)

 Photo bersama Dr. Zakir Naik & Rektor Unida Gontor Prof. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A 
Selepas acara Seminar.Internasional

Berbeda dengan bagian sebelumnya, pada bagian Kelima ini, Dr. Zakir Naik menjawab pertanyaan seputar kaum Muslim dan Non-Muslim. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti, kenapa Non-muslim dilarang masuk Mekkah dan Madinah. Dr. Zakir Naik menjelaskan bahwa negara masing-masing mempunyai term and condition (persyaratan). Jika anda Non-Muslim ingin mengunjungi negara Islam maka anda harus megisi persetujuan Visa dinegara tersebut. Maka Visa untuk masuk Mekkah dan Madinah adalah anda Non-Muslim harus mengucapkan; “La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah” maka anda silakan datang ke Mekkah dan Madinah. (Hal 107-108).

Pertanyan terkait pada bagian Kelima juga tentang; perbedaan mazhab dalam Islam. Akhlak Islam. Orang kafir, Berhala untuk konsentrasi beribadah. Nama Tuhan. Agama tertua, nama Allah dalam kitab suci agama lain. Islam tidak membakar jenazah. Seruan Adzan. Hukum perdata dan pidana. Rama dan Krisna utusan Allah? Dan apakah Weda adalah wahyu Allah? 

Diteruskan, pada bagian Keenam menjawab pertanyaan seputar Al-Qur’an. Seperti, makna Alif lam mim. Untuk menjawab pertanyaan ini, Dr. Zakir Naik menjelaskan, bahwa huruf atau singkatan seperti itu dan singkatan lainnya disebut dengan Al-Muqattat. Yaitu huruf singkatan. huruf singkatan kadang muncul sendiri dan kadang kombinasi dua huruf, kadang juga kombinasi tiga, empat atau lima huruf. Kemudian beliau menjelaskan tantang pendapat ulama tentang huruf tersebut seperti ulama tafsir Ibnu Katsir, Zamakhsari, dan ibnu Taimiyah. Yang intinya bahwa itu adalah mukjizat dari Al-Qur’an. (Hal. 169-170)

Dan pada bagian Terakhir buku ini, Dr. Zakir Naik menjawab pertanyaan seputar Ilmu Pengetahuan. Layaknya, Bumi itu datar? Pertanyaan ini banyak sekali di lontarkan baik oleh Muslim atau Non-Muslim. Dr. Zakir Naik menjelaskan bahwa banyak sekali dalam Al-Qur’an menjelasakan tentang Bumi itu bulat dan dihamparkan. Bukan datar. Penjelasannya dalam surah Adz-Dzariyat ayat 48 “Bahwa bumi itu kami hamparkan; maka sebaik-baik yang menghamparkan adalah kami”, An-Naba’ ayat 6-7, Al-Ankabut ayat 56 dan “Dan Bumi sesudah itu dihamparkan” (An-Nazi’at ayat 30). (Hal. 179-180).

 Buku yang ditandatangani oleh anak Dr. Zakir Naik, Fariq Naik



Dari beberapa uraian jawaban yang coba dilontarkan oleh Dr. Zakir Naik semuanya  sesuai dengan pemahaman dari Al-Qur’an dan Hadits. Tidak ada yang samar-samar atau sulit dicerna otak manusia. semua sangat jelas dan gambalang. Di bekali dengan hapalan yang kuat berbagai kitab suci dari beberapa aliran agama, selain menghapal Al-Qur’an, beliau juga menghapa Bible (Perjanjian lama dan Perjanjian baru) Weda, Tripitaka dan beberapa buku seperti shahih Bukhari-Muslim dan beberapa buku klasik dan kontemporer.

Judul Buku      : Debat Islam Vs Non-Islam
Penulis             : DR. ZAKIR NAIK
Penerbit           : AQWAM, Jembatan Ilmu
Cetakan           : II, April 2016.
Tebal               : iii + 199 halaman
ISBN               : 978-979-039-365-3

Terimakasih sudah mampir blong kang Hadi. 
Semoga bermanfaat..

Kamis, 11 Januari 2018

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Delapan)

Oleh: Sofian Hadi
Unida, 12 Januari 2018


Dalam dunia pesantren hal yang sangat dikenang oleh santri adalah pesan, wejangan dan nasehat wali kelas. Bagi para santri, pesan, peran dan nasehat wali kelas layaknya percikan air pegunungan di pagi hari. Sejuk dan penuh kesegaran. Pesan dan wejangan wali kelas sangat membekas di dada para santri-santri yang buas akan ilmu. Sekiranya pesan dan nasehat itu dapat dilukisakan, maka siapakah yang tidak mengenal air terjun “Ai Puti”. Air terjun yang terkenal dengan kesegaran, bening dan kejernihannya. Kesegaran dan kesejukan air terjun inilah yang membuat penduduk Rarak menjadi bersih jiwa dan tutur kata mereka. Jika anda berkesempatan berkunjung ke Desa Rarak, maka anda akan di sambut dengan indahnya sopan santun berbasa-basi, senyuman dan pola cara berbicara yang kuat melekat;

“Sia ngesar mo loka” [1]
“Silamo mo tu ngesar lo bale”[2]

Kata-kata itu keluar dari kesejukan hati dan jiwa mereka. Betapa indah buah dari kejernihan air terjun itu, sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap warga yang hidup di sekitarnya.

Baiklah, kita kembali kepada indahnya untaian nasehat sang wali kelas. Para santri dengan Ikhlas menunggu pesan dari wali kelas mereka. Mereka juga kadang-kadang ingin curhat tentang pelajaran, hafalan hadits, hafalan Qur’an, tafsir dan bahasa mereka. Dan inilah saat yang kami tunggu-tunggu. Aku, Abridin dan Mukhlis bermaksud menghadap wali kelas kami. kemi melangkahkan kaki menuju rumah bapak kedua dalam hidup kami. Sesampainya di depan rumah wali kelas Ustad Faqih Harwansyah, kami saling melempar keberanian siapakah diantara kami yang akan tampil berani mengetuk pintu dan mengucapkan salam terlebih dahulu. Aku mundur dengan pasrah, Mukhlis juga pelan-pelan mundur beberapa langkah mengikutiku. Kami masih berselisih tentang siapakah yang pertama untuk memberi salam. Akhirnya, berkat kecerdasan Mukhlis, ia berbisik pelan.

“Kita dorong Abridin, aku yang hitung satu, dua , tiga!!”

Abridin terdesak pas di depan pintu rumah ustad Faqih. Dengan terpaksa Ia memberanikan diri mengetuk pintu dan mengucapkan salam

“Tok, tok, tok”

“Assalamualaikum Ustadz...”

Dua menit suasana hening,,

Kembali ia mengulangi..

“Assalamualaikum Ustadz…”

Belum juga ada jawaban dari dalam

Suara Abridin terdengar berat mengucakan salam untuk ketiga kalinya. Sepertinya ia tidak terima dengan doronganku dan Mukhlis, yang memaksanya mengetuk lagi pintu rumah Ustad Faqih.

“Ayo Din, ketuk lagi pintunya” Seru Mukhlis dengan suara lepas.

“Ehh…Lis, kau jangan nyuruh saja, maju kesini kalau berani.” Abridin menggertak Mukhlis untuk maju. Mukhlis tetap menahan senyum di belakangku, senyum yang hampir pecah dari bibirnya. Ia lantas berujar;

“Kan, kamu yang pertama mengucapakan salam Din, masa’ kamu takut untuk mengulanginya lagi, mengucapkan salam itu banyak pahalanya lho,!” Kembali Mukhlis memancing Abridin yang sudah sempat emosi. Abridin sejenak melihat kearah Mukhlis, mata mereka bertemu. Aku berdiri di tengah-tengah dua sahabatku yang selalu berbeda persepsi itu. Akhirnya aku mencoba melerai Quarrel (pertengkaran mulut) Mukhlis dan Abridin;

“Huuss,”
“Sudah!"
“Sudah!"

"Kalian memang tidak pernah sepakat dalam satu hal.! Sampai kapan kalian akan saling berbeda persepsi.! Untuk bertemu wali kelas saja kalian masih rame!. Kalau begitu kita tunda saja sekarang! Kita bertatap muka nanti malam saja, Lis, Din. Siapa tahu ustad Faqih sekarang sedang istirahat. Daripada kita menunggu disini dan mendengar kalian terus saling bertengkar mulut. Aku jadi streesss. Sekarang kita balik ke asrama! Kita balik lagi nanti setelah shalat Isya, Sekalian kita ajak Bambang, Anto, Zaenal dan teman-teman lain, siapa tahu mereka mau setor hafalan hadist atau Qur’an.” Ujarku memberi putusan.

Mereka berdua diam. Kemudian saling tatap dan kompak membalas;

“Baiklah kalau begitu. Kita datang lagi setelah shalat Isya.” Sahut Abridin dan Mukhlis dengan kepala mengangguk tanda setuju.

Keinginan kami untuk bertemu wali kelas hari itu akhirnya kami urung setelah shalat Isya. Kami rindu akan pesan wali kelas kami Ustad Faqih Harwansyah. Beliau adalah ustad yang datang dari Sumbawa Besar. Akan tetapi, beliau telah menamatkan studi Sarjana S1 di Malaysia. Kami bangga dengan paras dan style beliau yang selalu semangat dalam mengajar. Beliau selalu sabar mendidik kami santri-santrinya. Ustad Faqih tidak pernah meninggalkan kelas tanpa alasan.

“Jika lima belas menit ustad tidak masuk, maka saya minta izin tidak bisa masuk mengajar” Terang Ustad Faqih jika akan berhalangan masuk kelas kami.

Kami pun berjalan menuju asrama dan persiapan shalat berjamaah Zuhur. Mukhlis dan Abridin berjalan cepat meninggalkan aku sendiri. Sepertinya mereka cepat-cepat ingin sampai asrama dan merebahkan tubuh mereka di atas kasur lusuh  itu. Akupun tidak mau ketinggalan mengejar mereka yang mulai merasakan kedatanganku.

To be Continued


Untuk melihat Bag. Tujuh kelik Disini


[1] Silakan mampir dulu. Bhs daerah Taliwang
[2] Silakan, mampir dulu ke rumah. Bhs daerah Taliwang

Kamis, 04 Januari 2018

Jadilah Seperti Tsauban


Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida) Gontor


Banyak kisah cinta dari para sahabat kepada Rasulullah Saw. Kisah yang mengandung nilai dan pelajaran yang berharga untuk kita jadikan sebagai renungan, motivasi dan semangat kita dalam mendekatkan diri kepada sang Ilahi. Pertanyaannya, mampukah kita menandingi kisah cinta para sahabat kepada Rasulullah? Atau cinta kita kalah dengan cinta para sahabat tersebut? Mungkin juga cinta kita yang lebih unggul dari cinta para sahabat? Atau celakanya, cinta kita malah jauh dari cinta para sahabat? Hal ini tentunya harus menjadi renungan bagi kita secara mendalam.

Untuk menilai bagaimakah kualitas cinta para sahabat kepada Rasulullah Saw. Marilah kita simak sebuah kisah di zaman Rasulullah Saw, kisah yang telah diriwayatkan oleh para ulama dalam-kitab-kitab mereka. Kisah yang menjadi penyebab (asbabun nuzul) turunnya ayat Al_Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (69-70)

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para Nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.  Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui dari apa yang kita sembunyikan dan apa yang kita tampakkan” (An-Nisa’:  69-70)

Al-Hafizd Ibn Katsir membawakan riwayat seorang sahabat yang cinta kepada Nabi Muhammad Saw. Sahabat ini, tidak sabar kalau tidak berjumpa dengan Rasulullah Saw. Namun, Ibn Katsir, tidak menyebutkan siapa nama sahabat tersebut. Sementara, Imam Al-Qurtubi di dalam tafsir beliau, Al-Jaami’ Liahkamil Qur’an, menyebutkan  nama sahabat itu bernama “Tsauban”. Sahabat Tsauban ini, adalah pembantu Rasulullah Saw, sahabat ini sangat mencintai Rasulullah Saw, dan Tsauban tidak tahan kalau tidak bertemu sehari saja dengan dengan Nabi Muhammad Saw.

Jika Tsauban tidak bertemu Rasulullah Saw, maka wajahnya berubah pucat, raut mukanya tidak enak dipandang. Dia seperti orang yang merana dan menderita. Hidupnya hampa, tidak bergairah dan tidak bersemangat. Layaknya, para pengemis lusuh dan pemulung yang selalu murung.

Dan benar saja, pada suatu hari sahabat Tsauban benar-benar tidak bertemu dan berjumpa dengan Nabi Saw. Dalam kondisi tersebut, sahabat Tsauban ini pikiranya kacau-balau, bigung, sampai-sampai badanya kurus kering, wajahnya pucat, sangat bersedih dan sangat gelisah. Hanya karena sehari tidak berjumpa dengan kekasihnya Rasulullah Saw. 

Singkat cerita, akhirnya suatu saat bertemulah sahabat Tsauban ini dengan Rasulullah Saw, lalu Rasulullah begitu heran dengan keadaan pembantunya tersebut. Rasulullah pun bertanya perihal keadaanya;

“Maa ghayyaro lau nak ya Tsauban?” 

“Wahai Tsauban apa yang membuat keadaan kamu seperti ini? Kenapa wajahmu pucat? Kenapa kamu terlihat kurus kering? Kamu begitu bersedih, kamu tampak gelisah dan merana wahai Tsaubaan, penyakit apa yang sedang kau derita,  katakan kepadaku ya Tsauban?
Lantas Tsauban  menjawab, 

Ya.. Rasulullah, Maa bi dhurrun wala wajaun, ghairo anni idza lam Arooka, istakhtu Ilaika, was taw hastu wihsyatan shadidah, hatta alqoo 

“Wahai Rasulullah, aku tidak sakit, aku tidak terkena mara bahaya apapun, aku tidak ditimpa musibah sedikitpu. Hanya saja ya Rasulullah, kalau saja aku tidak bertemu denganmu sehari saja, aku rindu wahai Rasulullah, aku cinta kepadamu dan aku merasakan kesepian dan kesendirian yang amat sangat, sampai benar-benar aku berjumpa denganmu, wahai Rasulullah.”
Kemudian Tsauban melanjutkan;

Tsumma dzakartul akhiirota, wa akhofu alla arooka hunakaa, lianni aroftu annaka turfa’ Ma’an nabiyyiin, Wa anni indakholtu Jannah,  kuntu fii manzilatin yaa Adna manzilatik . Wa illam adkhul,  lam arooka abadaa

“Ya Rasulullah dalam keadaan aku bersedih seperti itu, aku ingat di akherat nanti, Wahai Rasulullah, anda nanti di akherat mempunyai derajat yang tinggi kumpul dengan para Nabi, aku wahai Rasulullah, seandainya saja aku masuk syurga, maka derjatku di bawahmu wahai Rasulullah. Kita tidak bisa ketemu di syurga nanti, anda di atas paling tinggi, sementara kami di bawah,  itu pun kalau aku masuk ke dalam syurga. Sementara kalau aku  tidak  masuk ke dalam syurga wahai Rasulullah, maka aku tidak akan bisa bertemu dengan engkau selama-lamanya”

Subhanallah… Begitu indah kisah sahabat Tsauban ini. Rasa rindu ingin berjumpa dengan Rasulullah telah membuat ia menderita dan merana. Rasa rindu itu telah menyiksa batinnya. Kerinduan karena samata-mata lahir dari cintanya kepada Rasulullah Saw. Rasanya puncak kerinduandan cinta itu bagi sebagian orang mungkin terlalu berlebihan, namun adakah kita sadari kalau rindu dan cinta kepada Rasulullah Saw akan lahir dari hati yang bersih, lahir dari hati yang bening, hati yang selalu di isi dengan kebaikan-kebaikan. Sehingga, dari kebaikan jiwa itulah akan lahir cinta yang hakiki.  

Semoga kita dapat mencontohi sahabat Tsauban ini. Kita perbanyak bacaan shalawat kita kepada Rasulullah Saw, sebagai bukti cinta kita kepada beliau. 

Allahumma sholli wasallim ala Muhammad.

Disarikan dari ceramah Ustad Abdullah Shaleh Al-Hadrami