Jumat, 12 Oktober 2018

Melihat Lebih Dekat Pruak Desa Rarak (Sebuah Memoar)



Puncak Rarak Air Tarjun 'Ai Puti'

Oleh: Fadhil Sofian Hadi


Film layar lebar “Jungle” yang di rilis Oktober 2017 diangkat dari kisah nyata tentang seorang lelaki nekad (Daniel Radcliffe) dan dan tiga orang temannya tanpa sengaja bertemu saat liburan panjang di Bolivia. Singkat cerita mereka membuat kesepakatan untuk mengunjungi jantung hutan Amazon. Hal menarik yang membuat penonton tercengang dengan kisah dalam film ini adalah, bagaimana mereka dapat bertahan hidup di tengah hutan Amazon tersebut. Kisah yang lebih menantang tentang tantangan mereka mengarungi tanjakan “dead road” (jalan maut) yang mendapat julukan sebagai the most dangerous road in the world meliauk-liuk dari kaki pegunungan itu hingga ke puncak tertinggi gunung tersebut.

Treng Tali di bukit Rarak, mungkin sama dengan “dead road” di pegunungan Bolivia. Lekuk tanjakannya tajam menghujam. Jika terjadi kesalahan pada kendaraan yang di tunggangi atau kesalahan murni manusia ‘human error’ maka jangan salahkan tanjakan itu, saat anda akan di lempar jauh ke dasar bukit atau ke hutan rimba. Begitulah kira-kira gambaran menuju pengunungan Bolivia dan lereng bukit Rarak. Lumayan menguji nyali.

Yang sangat memukau adalah, selepas mengarungi tanjakan terjal itu mata akan dipaksa terpesona dengan suguhan panorama lukisan alam nyata. Pada saat riders atau pengunjung sampai di tanjakan ke lima (terakhir) yang di sebut oleh warga sekitar dengan ‘pruak sinyal’ akan memanjakan mata pengunjung hanya dengan membalikkan badan dan akan nampak lukisan hijaunya hutan dan bukit sekitar. Pandangan dengan panorama alami dan natural terhampar dari ujung pruak sinyal yang tajam itu. Kemilau keindahan bukit Rarak yang membentang jauh di pelupuk mata. Subhanallah, indahnya kreasi Sang Pencipta.

Keindahan bukit dan gunung di desa Rarak juga berbanding vertikal dengan keindahan dan keramahan hati para pendudunya. Seperti desa lainnya, para penduduk desa Rarak akan menyambut siapapun tamu yang datang dengan senyuman dan sapaan akrab. Entah sekedar basa-basi atau memberikan sambutan dengan bahasa yang memenangkan hati para pengunjung. Mungkin kalau bahasa kids jaman now “make yourself at home” kurang lebih seperti itulah pesan yang ingin mereka sampaikan kepada para pendatang.

Pengunjung juga tidak perlu merasa sungkan, karena sebenarnya ketika bayak mata tertuju kepadanya menandakan bahwa mereka respect atau hormat dengan kedatangan anda di dalam komunitas mereka. Tidak bisa dipungkiri siapapun yang tiba di tempat baru akan menjadi bahan perhatian yang harus ditunjukan oleh masyarakat sekitar. Artinya, tidak ada yang aneh dengan sambutan yang asing itu. Begitulah standar normal sambutan para penduduk desa Rarak dan desa lain pada umumnya.

Para pendatang bisa langsung berkomunikasi dengan santai dan bebas dengan warga. Karena mereka pasti akan melempar basa-basi “silamo sia ngesar”[1] atau “sia ngesar mo loka”[2] Jika para pengujung mendengar kata-kata basa-basi seperti itu, maka kedatangan Anda telah diterima dalam komunitas penduduk desa Rarak yang notabennya hidup dengan kesederhanaan. Mungkin akan sedikit berbeda dengan penduduk primitif di hutan Amazon yang notabennya agresif dan selektif terhadap pendatang baru. Para pendatang di hutan Amazon akan di hujani panah beracun jika mereka tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa warga Amazone yang condong konservatif (kolot. Silakan temukan film dengan judul “Lost in Amazone” dalam film itu diceritakan detail bagaimana expedisi tentara inggris untuk menguasai hutan Amazone agar masuk dalam peta dan kekuasaan mereka. Sebuah konspirasi politik yang cukup beresiko!

 
Jalan Maut Bolivia

Jika warga Amazone adalah sekumpulan manusia konservatif yang masih jauh dari interaksi modern, maka sebaliknya dengan warga Rarak selangkah lebih progresif transformatif dari tuntutan zaman. Mereka sudah dapat menikmati layanan signal (sinyal) melalui cellphone atau mobile phone. Namun, permasalahannya mereka harus berlari menuju pruak sinyal sambil menerawang telephone mendeteksi tanda dimana sinyal berada. Setelah itu, mereka dapat berkomunikasi tanpa gangguan. Butuh perjuangan dan kesungguhan untuk mencapai sebuah harapan. Harapan mendapatkan sinyal full, agar komunikasi tidak putus di saat streaming atau live chatting berjalan normal.

Baiklah, kita lupakan sejenak tentang komparasi klasik kedua jenis warga ini. Saya akan lebih fokus membahas tentang 5 (lima) nama pruak (tanjakan) yang harus di terjang jika para pembaca ditakdirkan mengunjungi Desa Rarak. Atau jika ada pembaca yang sudah pernah iseng kesana lantas lupa nama tanjakannya, mungkin tulisan ini bisa membantu anda mengingat kembali memori mengerikan disaat anda mengarungi tanjakan maut itu.

Pruak Batu
Tanjakan ini adalah perkenalan pertama yang akan membuat para rider motor atau mobil extra waspada. Suasana natural alam, pohon-pohon yang bebas tumbuh di kiri-kanan jalan adalah suguhan menarik dari tanjakan batu ini. Kelokan yang menguji nyali kadang menghadang tanpa tanda arah seperti jalan raya di perkotaan. Kejelian mata memandang lurus adalah kunci agar tidak salah memilih haluan. Batu-batu dari ukuran kecil hingga ukuran besar kadang tidak bisa dihindari. Ini akan melatih rider memilih bagian kecil dari batu-batu cadas itu.

Dinamakan pruak batu, karena memang tanjakan ini memuat batu kerikil cadas yang menempel bebas di permukaan tanah tanjakan. Apabila batu-batu itu diinjak maka akan terlepas bebas. Sepertinya, penyebab utama tidak menempelnya batu kerikil itu adalah jenis tanah merah yang berpasir. Bukan jenis tanah liat. Sehingga tidak memberikan penguatan terhadap semua jenis batu yang terjebak di tanjakan ini.

Pruak Simpang Lamuntet
Jika tanjakan pertama (opening slope) di sambut ragam batu cadas, maka selanjutnya para rider akan di suguhkan dengan tanjakan Simpang Lamuntet. Dalam jarak tempuh beberapa kilo meter setelah meninggalkan desa lamuntet kec. Barang Rea dengan kondisi jalan yang masih extrem para rider harus tetap fokus dan extra confident karena anda akan kembali di tunggu tanjakan yang lebih tangguh. Namun di balik tanjakan yang tangguh di depan, nampak rindangnya dedaunan yang menutup ranting-ranting kecil pepohonan, terdengar juga heningnya gemercik air yang jatuh di atas batu licin tersusun alami, tanpa campur tangan manusia-manusia lemah.

Tanjakan simpang lamuntet ini mengirim pesan kepada riders dan para pengunjung supaya lebih tenang dalam menanjaki setiap jengkal jalan setapak yang menunggu dilintasi. Setelah tiba di ujung tanjakan ini, anda boleh berhenti sebentar dan memeriksa kelengkapan perabot motor atau mobil anda. Siapa tahu tanjakan itu telah merampasnya. Maka tidaklah heran jika tanjakan ini awal dari sebenarnya perjalanan uji nyali para rider dan pengujung. Setelah itu marilah melanjutkan petualangan menuju tantangan uji nyali yang lebih berat. Rarak itu berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja. DilanRarak. Hihi


Bravo! Menaklukkan tanjakan


Pruak Treng Tali 
Ibarat dalam sebuah kamus motivasi, hentakan pertama adalah awal dari hantaman selanjutnya. Dua tanjakan yang disebutkan sebelumnya merupakan introducing dari next challenging tanjakan yang lebih dahsyat. Jika diibaratkan dalam pertandingan Liga Champion Eropa, para pemain tidak hanya menyiapkan strategi dalam permainan, hal yang paling penting dari semua itu adalah persiapan mental pemain. Team atau pemain yang siap mentalnya akan mudah menguasai jalannya pertandingan. Sementara, team yang bermental tahu dan kerupuk akan ambruk. Tidak ada ampun, catatan pertama adalah mental para riders.

Mental itulah yang harus di persiapkan jika melintasi tanjakan treng tali ini. Sesuai dengan namanya tanjakan ini mempunyai arti yang dalam. Secara etimologi treng tali berasal dari kata treng yang artinya bambu atau ruas besinya bambu, sementara tali artinya erat/mengikat. Maka dapat di tarik sebuah definisi secara terminologi bahwa treng tali ini adalah tanjakan yang membutuhkan lekatan kuat untuk melintasinya. Ibarat rider sedang melintasi ruas besi bambu yang tajam, dapat dibayangkan betapa hati-hati dan penuh konsentrasi.

Tanjakan dan tikungan tajam berbanding pertikal serta pecahan batu yang berserakan di badan jalan menjadi tantangan tersendiri. Jika pengunjung salah mengalami kesalahan dalam mengontrol gas atau rem motor dan mobil, maka bersiaplah akan menghadapi kesulitan melanjutkan perjalanan. Mungkin saja anda akan kembali terlempar ke dasar tanjakan atau berhenti di tengah-tengah tanjakan treng tali. Suasana akan sangat berbeda 180 derajat Celsius jika cuaca kurang bersahabat atau hujan. Pertarungan antara nyali dan keberanian di tantang dalam arena tanjakan ini.

Seperti yang telah saya gambarkan di awal-awal, dead road di Bolivia sedikit memberikan gambaran kepada pembaca, bahwa gambaran saja sudah cukup membuat nyali ciut. Pun dengan treng tali sebuah gambaran nightmare bagi siapapun yang tidak pengalaman dalam mengarungi sebuah tanjakan. Pesan saya, tanjakan ini cukup berani jika anda tidak melawannya. Maka, kumpulkanlah keberanian untuk menantangnya.

 
Tetap fokus satu titik


Pruak Gintung
Persamaan antara treng tali dan pruak gintung adalah sama-sama menguji nyali dan mental rider atau pengunjung untuk menaklukkan tanjakan yang dahsyat ini. Apabila pengunjung di suruh memilih antara pruak gintung, dan treng tali, maka itu bukanlah sebuah pilihan melainkan sebuah jebakan, layaknya kasus ibu kota yang sempat marak tahun 2017 kemarin yaitu; “pilih pemimpin muslim tapi korup atau pemimpin kafir tapi adil” yang jelas ini bukan sebuah pilihan tapi sifatnya adalah jebakan kepada kaum muslim. Pernyataan tersebut merupakan penyesatan dalam kontek pemimpin. Yang sebenarnya adalah kita mempunyai pemimpin muslim adil, jujur dan tidak korup.

Pilihan yang terbaik dari kedua pruak ini adalah secepatnya pengunjung untuk melewati rintangan yang luar biasa ini. Pruak gintung juga tidak kalah terjal dari treng tali. Hanya saja, pruak gintung ada sedikit perbaikan seperti coran semen padat. Coran semen ini dimaksudkan untuk membantu para pengunjung atau rider agar lebih mudah melewati kubangan di tengah tanjakan ini. Tanah licin bercampur lumpur adalah awal-akhir dari pruak gintung ini. Maka waspadalah saat roda kendaraan terjerumus kedalam lumpur, ini akan membuat roda motor akan sulit bergerak. Bersiap-siaplah menarik napas dalam-dalam karena itu pertanda perjalanan butuh sejenak perhentian. Pesan dari pruak gintung ini, tetap jaga keseimbangan, mental baja dan fokus.

Pruak Sinyal
Hasil tidak akan menghianati usaha. Ungkapan ini senada dengan pepatah dalam dunia pesantren ”Man jadda wajada” siapapun yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil. Maka pruak sinyal inilah yang menjadi bukti kesungguhan para riders dan pengunjung. Setelah mengarungi empat pruak dengan level tantangan yang berbeda-beda, maka sebentar lagi anda akan menuju puncak terindah lukisan alam nyata. Lukisan indah yang akan meminta opriori pikiran anda untuk selalu ingin di kenang.

Pada akhirnya, pruak sinyal akan menyambut anda dengan senyuman. Tidak usah terburu-buru untuk melanjutkan perjalanan, karena beberapa meter lagi anda akan tiba di desa Rarak. Untuk melepas penat, setelah menaklukkan pruak sinyal, anda cobalah rilex sebentar, meregangkan badan anda di atas lagan yang terbuat dari bambu. Parkirkan motor atau mobil anda sejanak dan baliklah badan anda, dalam sekejap akan melihat indanya lukisan alam. Suasana pemandangan yang mempesona bak lukisan diatas kabut-kabut putih yang menaungi desa ini. Tentunya para rider tidak tahan untuk mengabadikan momen indak di desa dengan lukisan alam nyata. Ambil kamera dan selamat menikmati panorama indah ini.

Desa Rarak saat menurut informasi terbaru, telah diresmikan menjadi desa Wisata kedua di tanah Taliwang Kab. Sumabawa Barat, setelah Mantar menjadi Desa Wisata pertama dalam hal pelopor desa Wisata di pulau Sumbawa.


[1] Silakan mampir
[2] Silakan rehat kesini sejenak


 Gallery Photo


Senin, 08 Oktober 2018

Harga Sebuah Keyakinan (Telisik Kemenangan Khabib Nurmagomedov)


Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana University of Darussalam (Unida) Gontor



“Islam adalah satu-satunya agama yang di terima disisi Allah.” [Al-Imran, 19]. “Dan barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima dan di akherat  dia termasuk orang-orang yang merugi. [Al-Imran, 85]. Di dalam hadits Rasulullah Saw berkata; “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya. Dengan jelas dan bernas Islam sebagai sebuah agama dan keyakinan memposisikan dirinya. Tidak skeptis dan tidak pula sofis. 
 
Sebagai sebuah agama, Islam menuntun para pemeluknya untuk yakin dengan kebenaran dan melawan segala bentuk kepalsuan atau yang menentang kebenaran tersebut. Menantang bukan dalam artian melawan, tapi membela terhadap keyakinannya. Kerena, ketika dia membela kayakinannya, berarti dia telah membela kebenaran. Kebenaran yang lahir dari keyakinan tentang agamannya, yaitu Islam. Sejatinya, seperti itulah sikap muslim sejati. Keyakinan akan membuatnya berani, tidak ciut menantang maut. Tidak gentar sekalipun bertengkar.

Tak dapat disangsikan, hingar-bingar dunia seni bela diri UFC, yang diopersikan oleh William Morris Endeavou telah menayangkan sebuah pertarungan akbar antara Khabib Nurmagemedov asal Rusia kontra Conor McGregor dari Irlandia. Bahkan bingar pertandingan kedua petarung ini telah bergaung beberapa bulan sebelumnya. Para analisator membuat prediksi-perediksi tentang siapakah yang akan memenangkan pertandingan tersebut, baik dari kubu Gregor maupun Khabib. Dan hasilnya Khabib Nurmagomedov berhasil keluar sebagai pemenang. Khabib mengukuhkan kemenangan dengan rear naked choke atau kemenangan dengan mengunci leher musuh di round ke 4. Kemengangan atas Gregor memperpanjang karir bertarung Khabib dengan rekor tanpa pernah terkalahkan. 
 
Terlepas dari kemenangan yang di peroleh Khabib, hal tak terduga terjadi pasca pertandingan usai. Khabib tiba-tiba meloncat keluar dari octagon dan terbang menyerang kubu pelatih McGregor. Sebuah aksi yang sangat berani yang dilakukan oleh Khabib. Tentunya aksi tersebut banyak  mendapat respon negative dari para elite yang menamakan diri mereka dengan sebutan ‘para profesional.'

Sontak saja media internasional dan lintas nasional memuat berita heboh tentang aksi Khabib tersebut. Tony Ferguson petarung UFC memberikan komentar “Mereka seharusnya professional” dia menambahkan “Celaan McGregor sebelum laga soal agama, negara dan ayah Khabib, bukan alasan petarung asal Rusia tersebut bersikap brutal seperti itu” cetusnya. Cemooh yang tidak kalah pedas juga datang dari president UFC Dana White, “Nurmagomedove seharusnya dapat menahan emosi” dia juga mengatakan bahwa “Khabib konyol.” Serta beberapa komentar tajam yang menyudutkan Khabib.
 
Jika dilihat secara jernih akar masalah yang melatarbelakangi tindakan Khabib Nurmagomedov, tentunya tindakan tersebut lebih “professional” dari yang mereka tuduhkan. Kenapa seenaknya saja mereka mengatakan “Khabib tidak professional!” “anda tidak professional!” Hingga kata “professional” tersebut menjadi dalih pembelaan dalam melanggar norma keyakinan sekalipun, dan mereka mengatakan tidak professional dengan tindakan tersebut. Sangat naif. Dan disinilah perangkapnya. Karena makna kata “professional” tersebut bermasalah serta penuh jebakan. Untungnya Khabib tidak terjebak dengan kata professional itu, dia justru bersikap sangat professional dalam membela agama, keluarga dan negaranya. 
 
Muslim akan dikatakan tidak professional, jika sedang membela keyakinan dan agamanya. Muslim akan di tuduh tidak professional jika ia masih membawa Agama dalam sebuah pertandingan. Muslim akan di cap tidak “professional” jika tidak meneguk secangkir bir atau alcohol. Dengan dalih “professional” juga mereka memaksa Muslimah untuk membuka jilbab dan auratnya dalam sebuah game atau ajang perlombaan. Sebuah perangkap busuk dan menjijikkan. Bukankah ini jebakan berbahaya bagi keyakinan Muslim. Kita akan di bungkam ketika agama atau keyakinan kita dilecehkan dan di permainkan. Muslim akan di hina jika Agama di bawa dalam ajang kontestasi apapun, termasuk dalam dunia politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. 

Barat mendefinisikan seenaknya makna kata “Professional” dan tidak sedikit dari kaum Muslim terjebak dengan ungkapan yang berbau perangkap tersebut. Apa yang dilakukan Khabib merupakan sebuah pembelaan terhadap Agama yang dianut. Ghiroh atau kecemburuan Khabib terhadap agamanya meluap saat keyakinnya dilecehkan dan direndahkan. Mestikah sebagai Muslim bersikap professional ketika Islam di hina? Mestikah kita professional ketika keluarga kita di cela? Jika hati kecil kita tidak terpanggil untuk membelanya, maka sikap terhadap kepercayaan Agama yang anda anut boleh jadi bermasalah dan mestinya dipertanyakan. Bisa jadi kepercayaan yang kita anut tidak ada harganya. Kepercayaan kita pegang tidak ada nilai dan kehormatannya. Bukankah ini bertentangan dengan keyakinan yang telah diperjuangkan oleh para ulama dan para ambiya.

Harga sebuah keyakinan itu penting. Jangan sekali-kali meremehkannya. Berjuanglah membelanya. Bukan berjuang membiarkannya, atau berjuang tidak menegakkanya. Jika kita sanggup untuk membelanya maka itulah yang terbaik. Daripada terkoyak dalam kehinaan dan kerendahan. Dalam bukunya “Ghirah” Buya Hamka menjelasakan makna Ghirah cemburu karena Allah;
“Jika ghirah tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah dijajah oleh asing dalam segala sisi. Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu yaitu kain kafan. Sebab, kehilangan ghirah sama dengan mati!”
Ungkapan Buya Hamka membuka mata dah hati kita. Bahwa tantangan inilah yang sulit dihadapi oleh bangsa Barat. Dengan jelas mereka ingin melepas Ghirah dalam dada kaum Muslim, sayangnya mereka justeru menuduh dengan dalih tidak “professional.”  

Boleh jadi para elite “professional” melihat itu sebagai kekonyolan atau tindakan biadab. Namun, ketahuilah hal itu lebih beradab dari yang mereka tuduhkan, karena hal itu adalah bentuk dari sebuah tindakan keadilan. Dan keadilan itu pengertiannnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnnya. Khabib Normagomedove telah membuktikan dia beradab dan lebih professional. Karena dia telah mengajarkan kepada dunia tentang makna professional dalam arti yang sesungguhnya, yaitu menujukkan ghirah serta tidak rela agama yang dipilihnya dihina dan dilecehkan. Perlu dicatat, bagi dunia Barat, melecehkan agama atau keyakinan itu bukanlah sebuah pelanggaran.  Bukanlah sebuah pelecehan. Maka tidak heran, mereka tidak mempunyai harga terhadap kepercayaan yang mereka yakini. Naif!  

Hingga artikel ini di unggah, tidak ada media yang mendukung mengenai apa yang dilakukan Khabib. Tanpa sadar kita telah di perbodoh oleh jebakan atas nama gelar. Namun lagi-lagi Khabib membuktikan bahwa dia tidak mudah di bodohi dan di pecundangi. Dia buktikan bahwa kepercayaan agamanya lebih besar daripada hanya sekedar gelar yang tidak ada apa-apanya. Hingga presiden, pelatih, Muslim penjuru dunia dan keluarganya bangga dengan tindakan pembelaanya atas rasis yang di lontarkan kubu penentang, dan hanya mereka yang mendukung.

 
"Alhamdulillah, Alhamdulillah.. Allahuakbar" kalimat itulah yang selalu di ucapkan Khabib setiap kali memenangi pertandingan di arena octagon. @BravoKhabib!

Minggu, 05 Agustus 2018

Resensi Buku "Islam dan Diabolisme Intelektual"



 Hasil gambar untuk islam dan diabolisme intelektual
Oleh: Sofian Hadi
 Unida Gontor, 5 Agustus 2018



Buku yang di tulis oleh Dr. Syamsuddin Arif ini  merupakan penjelasan apik tentang beberapa isu kontemporer yang melanda umat Islam. Isu pertama yang diangkat adalah penjelasan gamblang tentang definisi Intelektual dan Ulama. Istilah ‘intelektual’ memang tidak di kenal di dunia Islam kecuali di zaman modern. Masyarakat di Timur Tengah sekarang menyebut intelektual itu ‘mutsaqqaf’ (budayawan) dan ‘mufakkir’ (pemikir). 
 
Sementara di Indonesia diistilahkan ‘cendekiawan’. Intelektual ialah cendekiawan yang selalu bersebrangan dengan penguasa, senatiasa kritis dan memberontak terhadap segala bentuk kemapanan atau status quo. Adapun ulama adalah orang-orang yang mempunyai kepahaman akan agama Allah kemudian ia menguasai dan mengajarkannya. Bukan hanya itu, para ulama adalah orang-orang yang terdapat padanya sifat-sifat keilmuan, kebaikan dan keunggulan. (3,15)

Sesuai dengan judulnya “Islam dan Diabolisme Intelektual” Dr. Syamsuddin Arif dengan gaya penulisan ilmiah-renyah, menjelaskan apa yang dimaksud dengan diabolis? dan siapakan sebenarnya yang termasuk dalam kelompok diabolis tersebut? Dr. Syamsuddin Arif mengutip pernyataan Arthur Jeffery dalam bukunya “The Foreign Vocabulary of the Qur’an” istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis atau pengabdian kepadanya. Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’ sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, Iblis memohon agar ajalnya ditangguhkan untuk sementara waktu dan bersumpah untuk menyeret orenag lain ke jalannya dengan segala cara. (24-25)

Lebih lanjut, Dr. Syamsuddin Arif menyentil persoalan virus ‘liberalisme pemikiran’ yang melanda cekdekiawan Muslim. Virus liberalisme mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berfikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias shopisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion). (33).
 
Kanker Epistemologis adalah istilah ilmiah masa kini yang dipakai oleh Dr. Syamsuddin Arif ketika mencoba menganalisa penyakit intelektual yang bisa menimpa siapapun. Pengidap kanker epistemologis biasanya memperlihatkan gejala-gejala pertama, bersikap skeptis (ragu-ragu) terhadap segala hal dari hal sepele hingga masalah prinsip terutama menyangkut keyakinan. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Kedua, penderita kenker epistemologis berpaham relativistik. Menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya). Terakhir, pengidap kanker epistemplogis ini mengalami kekacauan ilmu (cognitif confussion). Tidak mampu lagi membedakan yang benar dan yang salah mana yang haq dan yang batil. (45-47)
 
Tidak bisa dipungkiri, bahwa isu seputar Islam dan Politik juga menjadi sorotan tajam dalam buku ini. Dr. Syamsuddin Arif. Dalam pemaparannya, Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, akan tetapi politik sebagai sarana mencapai tujuan. Ada beberapa paradigma yang dianut oleh pengamat ataupun pelaku ‘Islam politik’. Paradigma pesimis radikal ini diwakili oleh pengamat politik seperti Oliver Roy penulis buku The Failure of Political Islam (Kegagalan Islam Politik). Yang seterusnya, paradigma utopian radikal bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam, dan bukan sekadar berjuang mewujudkan aspirasi dan membela kepentingan umat dalam bingkai demokrasi modern. Dan paradigma optimis moderat yang menyangkal pendapat Oliver Roy. Bagi mereka, Islam dan politik tidak perlu dipertentangkan. Agama dan negara tidak mesti dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng, tapi pengalaman dan pengamalan yang lebih seribu tahun lamanya. Dan karenanya, ‘Islam Pilitik’ bukan utopia atau angan-angan belaka. (49-54).
 
Selain menyoal tentang masalah intelaktual atau politik, agama dan kanker epistemology. Dr. Syamsuddin Arif juga menjelaskan tentang makna kebebasan. Bagi seorang Muslim, kebebasan mengandung tiga makna sekaligus. Pertama, kebebasan itu identik dengan ‘fitrah’ yakni tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan sekelilingnya. Maka bebas adalah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya. Makna kedua dari kebebasan adalah daya atau kemampuan (istita’ah) serta kehendak (masyi’ah) dan keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Makna ketiga, kebebasan dalam islam berarti ‘memilih yang baik’ [ikhtiyar] sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya ikhtiyar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya. (168-169)
 
Permasalah yang 'paling' parah di negeri ini adalah problematika korupsi. Sejak beberapa tahun terakhir, media masa memberitakan kasus korupsi dari kelas kakap, hingga korupsi kelas “taman kanak-kanak”. Dari jantung elite pemerintah hingga jantung level lurah. Dari pengusaha hingga politisi. Dari pegawai kabun hingga pejabat yang beruban. Herannya, tak terkecuali jaksa, hakim, polisi hingga menteri semuanya KORUPSI. Ini tidak luput dari pembahasan Dr. Syamsuddin Arif dalam topik pembahasan yang ke dua puluh dua. (179-183).
 
Terakhir, buku ini mengulas tentang “Everroisme dan Renaissance” sebuah memoar sejarah yang telah lama terkubur dalam ingatan sejarah. Sosok Ibn Rusyd kini seolah-olah hidup kembali. Jika kaum santri hanya mengenal sebagai ahli fikih, sementara golongan cendekiawan mengaguminya sebagai ‘jembatan pengetahuan’ antara Timur dan Barat penghubung antara dunia Islam dan Kristen. Itulah sosok Ibn Rusyd alias Averroes, tokoh yang belakangan disebut-sebut sebagi perintis gerakan pencerahan di Barat. (191)
             
Kesimpulan, buku ini sangat hight recommended untuk dikonsumsi oleh intelektual generasi milenial jaman now. Mengingat isinya padat dan sarat pesan kritis yang sesuai dengan arus zaman sekarang. 

Wallahu’alam bisshowab

            Petuah Nabi dan para Wali                Akar umbi alam duniawi
Elok  disimak dan dipatuhi                  Anak Merpati di dahan jati
Hidup sekali di dunia ini                     Agar bahagia dan diridhoi
Tiada guna iri dengki                          Bersihkan hati sebelum mati

Judul Buku      : Islam dan Diabolisme Intelektual
Penulis             : DR. Syamsuddin Arif
Penerbit           : INSISTS dan PIMPIN
Cetakan           : I, 2017.
Tebal               : vi + 253 halaman
ISBN               : 978-602-19985-7-1 

Senin, 23 Juli 2018

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Sembilan)



 
Oleh: Sofian Hadi
Unida, 23 Juli 2018


“Assalamualaikum…”

Ucapku dengan nada sedikit gemetar. Setelah mengetuk pintu rumah ustad Faqih Harwansyah. Masih belum ada jawaban dari dalam.

“Assalamualaikum…”

Kembali kuulangi salam itu datar. Setelah beberapa menit kami menunggu, terdengar suara ustad Faqih menjawab salamku dari dalam. Beliau membuka pintu sejenak menatap kami sekilas dengan alis sedikit mengerut, kemudian menyuruh kami duduk di depan teras rumah. Sejurus beliau kembali lagi ke dalam rumah. Sementara, Abridin dan Mukhlis nampak canggung. Mereka masih komat-kamit menghafalkan text pidato bahasa Arab karena besok hari Kamis jadwal mereka menjadi pembicara pidato bahasa Arab. 

“Huss, nanti lagi hafalannya. Nanti kalau ustad Faqih bertanya tentang tugas pelajaran bahasa Inggris bagaimana?” Tanyaku kepada Abridin dan Mukhlis. Nampaknya mereka tidak menggubris omonganku. Tampang mereka masa bodoh. Terus saja mereka hafalkan text pidato bahasa Arab itu. Akupun mengalah. Aku melihat keseriusan di wajah mereka. Keseriusan agar esok hari mereka tidak mendapat hukuman karena tidak bisa pidato dalam bahasaArab. Hanya keseriusanlah yang dapat menolong mereka ataupun santri yang lain dari bencana muhadhoroh. Jika tidak serius menghafal maka siap-siaplah mendapat hukuman yang setimpal.

“Kenapa hanya tiga orang? Teman-teman yang lain kemana, kenapa mereka tidak ikut? Bukankah kalian kelompok Ibnu Sina?” Tanya ustad Faqih mendadak membuka pintu sambil mengambil posisi duduk di atas kursi. Di tangannya nampak sebuah buku catatan. Kami dapat pastikan buku itu adalah sebuah diary tentang kami sebagai murid beliau. Buku diary itu untuk mencatat hal penting di luar pelajaran formal. Contohnya, kedisiplinan kami, kekompakan saat belajar, santri yang ghaib, santri malas, santri yang punya masalah termasuk juga siapa santri yang tekun, ulet, pintar dan rajin.

“Na’am ustad, kami dari kelompok Ibnu Sina” jawab Mukhlis datar. “teman-teman dari kelompok Imam Syafi’i, Imam Ghazali dan Imam Hambali sedang bersiap-siap kesini ustad. Terangnya lagi.
“Ooo,, begitu, sambil kita menunggu teman-teman dari kelompok lain, saya ingin kelompok Ibnu Sina untuk membuka diskusi belajar kita malam ini” 

Kami saling tatap, Aku melihat Abridi dan Mukhlis dengan tegang. Begitupun mereka. Ustad Faqih nampak duduk santai diatas kursi. Beliau dapat membaca suasana yang tiba-tiba tegang. Sementara, kami bertiga masih melempar isarat dengan kode dan sandi yang tidak ada dalam dunia kepramukaan. Suasana masih canggung. Kami benar-benar mati kutu. Sepertinya kami telah terjebak dalam sebuah diskusi panel yang pembicaranya tidak dapat menjawab pertanyaan dari para peserta. Pori-pori kami mulai basah. Keringat tegang keluar membasahi tubuh. Oo.. nasip kenapa begini. Di dalam kebingungan tersebut, tiba-tiba terdengar suara salam 

“Assalmualaikum… Ustad”

“Waalaikumsalam…” jawab kami dan ustad Faqih kompak.

Ternyata Abdul Ziad dan teman-teman lainnya telah datang. Mereka langsung manyalami tangan ustad Faqih. Kamipun bediri menyambut mereka. Senyum lebar mengembang dari bibir kami bertiga. Mereka bak jagoan Sun go Kong yang selalu datang menolong gurunya Tom Sam Chongketika mendapat kesulitan dalam perjalanannya. Bukan seperti polisi India yang datang setelah peristiwa huru-hara telah berakhir. Setelah kami semua duduk rapi dan masuk pada kelompok masing-masing. Ustad Faqih pun nampak memperbaiki duduknya.

“Belajar malam itu wajib. Jangan sekali-kali diremehkan. Setiap malam setelah shalat isya semuanya harus belajar disini. Datangnya juga harus kompak. Tidak boleh ada yang terlambat. Kalian tahu alasan saya menamakan kelompok belajar dengan nama, Ibnu Sina, Imam Maliki, Imam Ghazali, Imam Hambali dan Imam Syafi’i. karena mereka adalah orang-orang pintar dan ulama besar. Mereka adalah cendekiawan Muslim yang hebat. Saya mau dari kalian-kalian ini menjadi seperti mereka. Bisa menjadi Dokter seperti ibnu Sina, paham ilmu fiqih, hadits, akidah, syariah dan hukum-hukum dalam islam sepeti Imam Ghazali, Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Fahimtum,” tanya ustad Faqih.

“Fahimna ustad” jawab kami semangat.

“Baiklah besok malam, kelompok yang bertugas menjadi pemateri diskusi harus dipersiapkan. Jangan ada yang terlambat lagi. Kamu, Mukhlis.. Apa nama kelompokmu?” 

“Ibnu Zina ustad” jawab Mukhlis mantab.

Sontak saja suasana tegang itu meledak dengan gelagak tawa. Jawaban Mukhlis dengan kepercayaan diri yang tinggi tak disangka akan membuat perkumpulan malam itu ramai. Kata Ibnu Sina yang di ganti menjadi Ibnu Zina sangat diluar prediksi. Mukhlis menjawab terlalu fasih. Dia mengira ibnu Zina adalah jawaban yang tepat. Namun entahlah.. Mukhlis selalu berulah. Ustad Faqih nampak menahan tawa dengan tersenyum tipis. Namun dapat di terka kalau senyum itu lebih menyimpan tawa. 

Malam yang penuh drama

To be Continued
Untuk melihat Bag. Delapan kelik Disini