Oleh: Fadhil Sofian Hadi
Mahasiswa Universitas Darussalam (Unida) Gontor
Pagi
menyapa kampusku. Seperti biasa, matahari tetap cerah melempar dedaunan dan
genting-genting gedung. Aku menyibak gorden biru yang sedari tadi mulai
melambai pelan diterpa semilir. Ternayata jendela masih terkunci. Lantas,
kusekap jendela minimalis itu dan kulepas pengaitnya. Siraman kesejukan yang
telah lama menunggu kedatanganku dari masjid tiba-tiba berhamburan menggulung memenuhi
setiap ruang kamarku. Segeer, fresh, adem. Bak menghirup semerbak
kesejukan pagi gunung Samoan musim semi, saat menyapa almamaterku tanah Rabbani
al-Ikhlas Taliwang.
Tidak
ada kuliah umum setelah subuh tadi di masjid. Hanya kajian ba’da subuh di teras
masjid yang diikuti oleh mahasiswa santri dari jurusan dan fakultas berbeda.
Terlihat juga beberapa mahasiswa yang membaca dan menghafal beberapa bait
Qur’an. Mereka saling berhadapan. Sesekali, mahasiswa itu menutup dan membuka,
menutup dan membuka lagi qur’an saku di genggaman masing-masing. Begitu juga
dengan mata mereka, kadang tertutup, terbuka dan begitulah seterusnya. Hingga
mereka dapat menghayati hafalan masing-masing.
Najib
al-Rahmman al-Falistiny, sekamar denganku. Mahasiswa berpaspor Palestina itu sudah
beberapa bulan berdiaspora ke Indonesia dan dia memilih kampusku menjadi
pelabuhan intelektualnya. Sebelumnya, dia adalah lulusan Mesir dan lulusan
Malaysia. Berbekal semangat menuntut ilmu, dia kembali berkutat dengan dunia
akademik dan melanjutkan pengembaraannya manjadi mahasiswa Magister Bahasa
Arab. Yang patut di contoh darinya, semangat thalabul ilmunya tinggi.
Ragam kisah dan cerita menghiasi diaspora kegigihannya menuntut ilmu ke negara
lain. Keluarganya telah tiada. Bom subuh hari telah merenggut nyawa orang-orang
yang sangat dicintainya. Matanya berkaca-kaca jika menceritakan kejadian
mengerikan itu. Mungkin suatu hari, aku
akan menulis panjang lebar tentang kisah hidupnya.
Baiklah.. Kita lupakan sejenak masalah Najib dan fokus membahas selaksa peristiwa. Tepatnya, ini adalah hari Jum’at. Mahasiswa
santri dikampusku semuanya libur. Hanya libur dari rutinitas perkuliahan hari
aktif. Namun, kagiatan tidak pernah libur. Sederet kegiatan extra, olah raga, olah
jiwa, olah fikir dan olah rasa sudah menanti. Padat dan pastinya bermanfaat. Sepadat
apapun kegiatan, akan terhenti ketika gelombang suara toa masjid mengirim
sinyal dengan tilawah ayat suci al-Qur’an, yang dilantunkan merdu oleh
mahasiswa dengan profesi tinggi ‘ta’mir masjid’. Lantunannya mampu merubah
keadaan dan kehidupan kampus seketika.
Pukul
11 menjelang shalat Jum’at, sinar sang surya mulai terik. Suasana kampus
lengang sejenak. Satu dua Mahasiswa santri mulai bergerak melangkah ke masjid,
tak terkecuali aku. Jarak masjid dengan asrama kurang lebih tiga ratus lima
puluh meter. Aku mendatangi masjid lebih awal. Dengan niat ingin mendapat
tempat di shaff pertama. Sebab pahala shaff pertama seperti yang diriwayatkan dalam
sebuah hadits Bukhari seolah berkurban seekor unta. Serta hendak meniru
semangat Said bin Musayyib shalat jama’ahnya selama kurang lebih 40 tahun
dan tidak pernah melihat pundak orang saat berjamaah selama 30 tahun. Atau al Hafidz Ibnu Asakir yang selalu
berada di shaff terdepan saat shalat berjama’ah selama 40 tahun. Subhanallah. Semoga kita dapat meniru para sahabat-sahabat
itu dalam beribadah. Atau sekurang-kurangnya kita dekat dengan amalan-amalan
mereka.
Singkat
cerita, shalat jama’ah Jum’at pun selesai ditunaikan. Ribuan jam’ah Mahasiswa
santri, dosen serta para karyawan kampus berhamburan keluar masjid. Aku
melangkah balik ke Asrama dengan tidak tergesa-gesa. Terik dan sengatan
matahari memaksaku menutup kepala dengan sajadah. Jalan berpasir itu melepuh
menahan panas. Ku lihat paving block menguap tersengat terik. “Kalau saja
sandalku di ghosob tamat sudah
riwayatku” bisik hati kecilku. Harapan yang tidak diharapkan. Akan tetapi, hal
tak terduga terjadi tepat di depan mataku.
Tanpa
sengaja aku terperangah melihat seorang Mahasiswa yang berjalan menuju asrama
tanpa alas kaki alias nyeker. Ia berjalan mencoba mendahului. Perawakannya dengan ciri khas mahasiswa
santri berseragam kopiah hitam, baju koko di balut jas abu-abu. Ia benar-benar
tak beralas kaki!. “Mungkinkah sandalnya di ghosob?” Wow. Padahal
baru saja aku banyangkan hal tersebut tidak terjadi padaku, namun sebaliknya
hal itu terjadi pada orang lain. Sejenak aku merenungi takdir. Apapun bisa
terjadi jika Allah berkehandak. Aku dihadapkan pada pelajaran pertama.
Hal lain
diluar duagaanku juga terjadi. Tidak ku lihat tampang marah dimuka Mahasiswa
tadi. Wajahnya sumringah seperti tidak terjadi apa-apa. Ia tertawa lepas sembari
merangkul teman disampingnya. Aku mendengar mahasiswa lain bertanya. “Sandal
ente kena ghosob sul?” Namun ia acuh. Tak menaggapi pertanyaan remeh itu. Ia
hanya fakus bicara sambil merangkul pundak teman disampingnya dengan ngobrol
renyah. Aneh pikirku. Seharusnya mahasiswa itu marah, atau mengeluarkan sumpah
serapah ke temannya. Atau lari terbirit-birit karena malu tak beralas kaki.
Tapi hal itu tidak terjadi dan tidak ia lakukan. Sebuah sikap sabar dan tetap
tenang ia tunjukkan terhadap masalah yang menimpanya. Pelajaran kedua bagiku.
Mungkin selaksa peristiwa Jum'at itu, akan berbeda jika terjadi di tempat lain. Pastinya akan sangat berbeza (kata penyanyi Malaysia). Marah, mukanya memerah, kakinya bergetar, atau tangannya mengepal sambil bergumam pedas "Siapa yang ghosob (curi) sandal saya? Awas!! Kalau ketemu aku habook" Atau dengan ungkapan lain "Kurang ajar, kok bisa setelah shalat nyolong? dasar Maling!" Sambil mengumpat nama-nama binatang. Kemudian pulang dan berjalan dengan penuh dendam. Biasanya, itulah realitas convensional jika sandal jadi korban ghosob di masjid. Berdasarkan pengalaman dan pengamatanku. Dan wajar saja, begitulah watak manusia jika dihadapkan pada masalah yang tidak diinginkan. Lama ingin berdamai dengan amarahnya. Sudah menjadi realitas umum. Bagiku ini masuk sebagai pelajaran ketiga.
Mungkin selaksa peristiwa Jum'at itu, akan berbeda jika terjadi di tempat lain. Pastinya akan sangat berbeza (kata penyanyi Malaysia). Marah, mukanya memerah, kakinya bergetar, atau tangannya mengepal sambil bergumam pedas "Siapa yang ghosob (curi) sandal saya? Awas!! Kalau ketemu aku habook" Atau dengan ungkapan lain "Kurang ajar, kok bisa setelah shalat nyolong? dasar Maling!" Sambil mengumpat nama-nama binatang. Kemudian pulang dan berjalan dengan penuh dendam. Biasanya, itulah realitas convensional jika sandal jadi korban ghosob di masjid. Berdasarkan pengalaman dan pengamatanku. Dan wajar saja, begitulah watak manusia jika dihadapkan pada masalah yang tidak diinginkan. Lama ingin berdamai dengan amarahnya. Sudah menjadi realitas umum. Bagiku ini masuk sebagai pelajaran ketiga.
Setelah
melihat tingkah laku Mahasiswa itu, aku tersenyum sendiri. “Ada ya mahasiswa
Unida kayak gini!” gumamku terharu dan kagum. Mahasiswa misterius itu terus
saja berjalan santai menuju asrama, seperti tidak merasa ada yang janggal di
tapak kakinya. Jalan ke asrama semakin dekat. Terik semakin menyengat. Kembali
aku melempar pandang. Namun kali ini ada yang beda. Kulihat ia mulai berjalan
cepat. meninggalkan teman rangkulannya tadi. Semakin lama semakin kilat, lantas
berlari jinjit saat menginjak paving block yang ber-uap itu.
Dalam
sekejap bayangannya manghilang dibalik tembok asrama. Aku kembali tersenyum
lebar. Semakin menambah kekagumanku padanya. Dan berharap kakinya baik-baik
saja. Dalam diam aku berbisik “Sepertinya saudaraku itu mulai lelah”. Dan aku
yakin pahalanya pasti berlipat-lipat ganda.
Semoga ada sepercik hikmah yang bisa dipetik dari kisah ini.
UNIDA Gontor. The Fountain of Wisdom.