Oleh: Sofian Hadi
Unida, 23 Juli
2018
“Assalamualaikum…”
Ucapku
dengan nada sedikit gemetar. Setelah mengetuk pintu rumah ustad Faqih
Harwansyah. Masih belum ada jawaban dari dalam.
“Assalamualaikum…”
Kembali
kuulangi salam itu datar. Setelah beberapa menit kami menunggu, terdengar suara
ustad Faqih menjawab salamku dari dalam. Beliau membuka pintu sejenak menatap
kami sekilas dengan alis sedikit mengerut, kemudian menyuruh kami duduk di
depan teras rumah. Sejurus beliau kembali lagi ke dalam rumah. Sementara, Abridin
dan Mukhlis nampak canggung. Mereka masih komat-kamit menghafalkan text pidato
bahasa Arab karena besok hari Kamis jadwal mereka menjadi pembicara pidato
bahasa Arab.
“Huss, nanti lagi hafalannya. Nanti kalau ustad Faqih bertanya tentang
tugas pelajaran bahasa Inggris bagaimana?” Tanyaku kepada Abridin dan Mukhlis.
Nampaknya mereka tidak menggubris omonganku. Tampang mereka masa bodoh. Terus
saja mereka hafalkan text pidato bahasa Arab itu. Akupun mengalah. Aku melihat
keseriusan di wajah mereka. Keseriusan agar esok hari mereka tidak mendapat
hukuman karena tidak bisa pidato dalam bahasaArab. Hanya keseriusanlah yang
dapat menolong mereka ataupun santri yang lain dari bencana muhadhoroh. Jika
tidak serius menghafal maka siap-siaplah mendapat hukuman yang setimpal.
“Kenapa
hanya tiga orang? Teman-teman yang lain kemana, kenapa mereka tidak ikut? Bukankah
kalian kelompok Ibnu Sina?” Tanya ustad Faqih mendadak membuka pintu sambil
mengambil posisi duduk di atas kursi. Di tangannya nampak sebuah buku catatan.
Kami dapat pastikan buku itu adalah sebuah diary tentang kami sebagai
murid beliau. Buku diary itu untuk mencatat hal penting di luar
pelajaran formal. Contohnya, kedisiplinan kami, kekompakan saat belajar, santri
yang ghaib, santri malas, santri yang punya masalah termasuk juga siapa santri
yang tekun, ulet, pintar dan rajin.
“Na’am ustad, kami dari kelompok Ibnu Sina” jawab Mukhlis datar. “teman-teman
dari kelompok Imam Syafi’i, Imam Ghazali dan Imam Hambali sedang bersiap-siap kesini
ustad. Terangnya lagi.
“Ooo,,
begitu, sambil kita menunggu teman-teman dari kelompok lain, saya ingin
kelompok Ibnu Sina untuk membuka diskusi belajar kita malam ini”
Kami
saling tatap, Aku melihat Abridi dan Mukhlis dengan tegang. Begitupun mereka. Ustad
Faqih nampak duduk santai diatas kursi. Beliau dapat membaca suasana yang
tiba-tiba tegang. Sementara, kami bertiga masih melempar isarat dengan kode dan
sandi yang tidak ada dalam dunia kepramukaan. Suasana masih canggung. Kami benar-benar
mati kutu. Sepertinya kami telah terjebak dalam sebuah diskusi panel yang
pembicaranya tidak dapat menjawab pertanyaan dari para peserta. Pori-pori kami
mulai basah. Keringat tegang keluar membasahi tubuh. Oo.. nasip kenapa
begini. Di dalam kebingungan tersebut, tiba-tiba terdengar suara salam
“Assalmualaikum… Ustad”
“Waalaikumsalam…” jawab kami dan ustad Faqih kompak.
Ternyata
Abdul Ziad dan teman-teman lainnya telah datang. Mereka langsung manyalami tangan ustad
Faqih. Kamipun bediri menyambut mereka. Senyum lebar mengembang dari bibir kami
bertiga. Mereka bak jagoan Sun go Kong yang selalu datang menolong
gurunya Tom Sam Chongketika mendapat kesulitan dalam perjalanannya. Bukan seperti polisi India yang datang setelah peristiwa huru-hara telah
berakhir. Setelah kami semua duduk rapi dan masuk pada kelompok masing-masing.
Ustad Faqih pun nampak memperbaiki duduknya.
“Belajar
malam itu wajib. Jangan sekali-kali diremehkan. Setiap malam setelah shalat
isya semuanya harus belajar disini. Datangnya juga harus kompak. Tidak boleh ada
yang terlambat. Kalian tahu alasan saya menamakan kelompok belajar dengan nama,
Ibnu Sina, Imam Maliki, Imam Ghazali, Imam Hambali dan Imam Syafi’i. karena
mereka adalah orang-orang pintar dan ulama besar. Mereka adalah cendekiawan
Muslim yang hebat. Saya mau dari kalian-kalian ini menjadi seperti mereka. Bisa
menjadi Dokter seperti ibnu Sina, paham ilmu fiqih, hadits, akidah, syariah dan
hukum-hukum dalam islam sepeti Imam Ghazali, Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Fahimtum,”
tanya ustad Faqih.
“Fahimna ustad” jawab kami semangat.
“Baiklah
besok malam, kelompok yang bertugas menjadi pemateri diskusi harus dipersiapkan.
Jangan ada yang terlambat lagi. Kamu, Mukhlis.. Apa nama kelompokmu?”
“Ibnu
Zina ustad” jawab Mukhlis mantab.
Sontak
saja suasana tegang itu meledak dengan gelagak tawa. Jawaban Mukhlis dengan
kepercayaan diri yang tinggi tak disangka akan membuat perkumpulan malam itu
ramai. Kata Ibnu Sina yang di ganti menjadi Ibnu Zina sangat diluar prediksi.
Mukhlis menjawab terlalu fasih. Dia mengira ibnu Zina adalah jawaban yang tepat.
Namun entahlah.. Mukhlis selalu berulah. Ustad Faqih nampak menahan tawa dengan
tersenyum tipis. Namun dapat di terka kalau senyum itu lebih menyimpan tawa.
Malam
yang penuh drama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar