Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida) Gontor
Berikut ini saya berkesempatan kembali meresensi sebuah buku karangan Dr.
Syamsuddin Arif yang juga berstatus sebagai dosen saya di Unida Gontor yang
mengampu mata kuliah ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’. Walaupun tidak berkaitan
dengan mata kuliah yang beliau ajarkan, Dr. Syamsudddin Arif tidak lantas minim
pengetahuan tentang ilmu diluar kepakaran baliau. Buku ini adalah jaminannya. Pembahasan
mendalam yang bernas nan cerdas dengan merujuk kepada kepada referensi primer
dari para pentolan Syi’ah cukup membuat para pembaca kagum dengan keluasan ilmu
yang beliau miliki.
Buku ini lugas, sarat dan padat. Yang akan menuntun pembacanya
untuk terus membaca pelan hingga terkadang membalik ulang kertas halaman,
tersebab tidak ingin terjebak dalam kealpaan ‘istilah-istilah’ yang dianggap
rumit namun tetap masih bisa dicera otak. Jika melihat keotentikan referensi yang
di rujuk beliau boleh dikatakan pakar mengenai penganut Syi’ah ini. Buku sangat
recommended bagi para mahasiswa, akademisi maupun masyarakat awam. Ataupun yang penasaran dengan Syi’ah, terkhusus bagi
umat Islam yang tidak ingin terjangkiti virus ajaran Syi’ah.
Selamat membaca!
Selamat membaca!
Sejauh penelitian yang berkembang dalam sejarah dan penjelasan para
ulama, terdapat tiga macam syi’ah yang dipaparkan oleh Dr. Syamsuddin Arif penulis
buku ini. Para pengkaji Syi’ah belum dapat membedah ketiga macam syi’ah. Pertama,
Syi’ah terminologis; kedua Syi’ah politis; dan ketiga Syi’ah
ideologis. Jika digambar polanya seperti tanda panah di bawah ini’
Penulis memaparkan makna Syi’ah terminologis secara bahasa dalam
arti umum menurut kamus, atau secara harfiah yang asalnya bermakna kelompok,
pengikut, pembela. Dalam pengertian ini, penulis menyentil Nusron Wahid misalnya sebagai "Syi'ah Ahok" yaitu Syi'ah secara terminologis karena, Nusron merupakan salah seorang pembela atau pengikut Ahok. Penjelasan mengenai makna, arti dan terminologi ‘Syi’ah’ ini
dibahas dengan panjang lebar pada hal. 11 dengan sub judul “Persoalan Istilah”.
Selanjutnya, Syi’ah politis merupakan syi’ah dalam arti khusus, merujuk
kepada kata yang dipakai untuk menyebut para sahabat yang mendukung, berpihak
kepada, dan yang setia berjuang bersama Sayyidina ‘Ali pada masa konflik pasca
wafatnya Khalifah ‘Utsman bin Affan.
Adapun yang ketiga, Syi’ah ideologis yang dijelaskan oleh penulis
adalah syi’ah dengan makna dan arti tersendiri yang masuk dalam ranah keyakinan
(‘aqidah atau i’tiqad), pola pikir (mindset), kerangka
berfikir (intellectual framework)
hingga kepada cara pandangan terhadap dunia (worldview), yang pada
akhirnya akan membentuk sikap, mempengaruhi tingkah laku serta menetapkan dan
menentukan bentuk penerimaan dan penolakan orang terhadap suatu informasi,
memberikan bentuk pemahaman, mewarnai penafsirannya terhadap fakta, realita dan
peristiwa. Dalam kalimat lain, penulis mengatakan bahwa syi’ah ideolgis ini
merupakan gerakan sempalan yang muncul belakangan sekitar dua ratus tahun pasca
wafatnya Rasulullah Saw. [hal. 15-16].
Mengenai Syi’ah ideologis penulis buku ini melanjutkan
penjelasannya dengan membagi Syi’ah ideologis ke dalam tiga varian. Pertama
proto-Syi’ah [syi’ah tafdil]. Kedua [syyi’ah Rafidah], ketiga, [syi’ah
ghuluww]. Jenis Syi’ah tafdil, hanya sekedar atau menganggap
Sayyidina ‘Ali sebagai orang unggul, hebat sekaligus istimewa [afdal] dibandingkan
dengan para sahabat Rasulullah yang lain. Hal ini tanpa disertai dengan
pengingkaran, penolakan, pelecehan atau kutukan terhadap ketiga khalifah
sebelum Sayyidina’Ali yaitu (Abu Bakar Sidiq, Umar Bin Khattab dan Ustman Bib
Affan) begitupun terhadap sahabat Rasulullah Saw. [hal. 39].
Syi’ah rafd/rafidah
kelompok yang menyatakan pendapat bahwa
Sayyidina ‘Ali adalah satu-satunya orang yang paling berhak menjadi
pemimpin umat sesudah Rasulullah wafat. Oleh karenanya kelompok ini menafikan
kekhalifahan sebelumnya tidak sah. Maka golongan ini dijuluki al-firqah al-rafidah
alias al-Rawafid. Sebutan rafidi dan rafidah yang
disematkan kepada orang syi’ah memang sudah lumrah digunakan sejak abad kedua
Hijrah. Jika dilihat dari perspektif awam, syi’ah jenis ini (rafidah) masyhur
atau popular sebab banyak ulama ahlus sunnah sering menggunakan istilah rafidah
dalam ceramah dan dakwah mereka. Hingga Imam Malik dan Imam as-Syafi’i menyebut
Syi’ah idelogis itu rafidah. Keyakinan
mereka mengenai penunjukan Sayyidina ‘Ali dan Imam sesudahnya secara tegas (bi’n-nass)
yakni tidak melalui musyawarah atau pemilihan. Maka kelompok Syi’ah ini
juga dikenal dengan sebutan Syi’ah Imamiyyah. Adapun kelompok Syi’ah
imamiyyah ini juga pecah menjadi beberapa aliran. Rincian mengenai aliran ini
silakan lihat [hal 40-43].
Yang ketiga yaitu Syi’ah ghuluww atau ‘Ghulat’
yaitu kelompok yang mempunyai kepercayaan aneh, pelik atau rumit yang cenderung
kufur dan syirik. Mereka lebih percaya Sayyidina ‘Ali itu Tuhan yang berwujud
manusia (‘ala sûrat
al-insân) dan
percaya Tuhan itu dapat bersemayam di dalam tubuh seseorang (yahullu fi ‘l-asykhâs).
Menurut aliran ini juga yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan itu
Nabi Muhammad, bahwa Ruh Suci itu ialah Tuhan yang mulanya berada pada diri
Nabi lantas berpindah ke ‘Alî dan imam-imam sesudahnya. Ruh
manusia itu berpindah-pindah dengan bertukar jasad, hingga orang mati dapat
hidup kembali, namun ‘Alî dan
imam-imam sesudahnya tidak mati sebab akan datang lagi di akhir Zaman untuk
memenuhi dunia dengan keadilan. [hal. 43-44].
Menyelami bab berikutnya, penulis dengan keluasan cakrawala
pengetahuannya menjelaskan tentangi Syi’ah Takfîrî dan
Taqdîsî.
Kedua jenis Syi’ah ini masing-masing tidak hanya menolak legitimasi para
khalifah selain Sayyidina ‘Ali, sebaliknya menganggap semua sahabat mentang
‘Ali dan tidak mengimami sesudah itu adalah kafir. Bagi kelompok ini juga
Sayyidina ‘Ali juga dikuduskan atau disucikan. Yang termasuk dalam kelompok ini
orang Syi’ah Imamiyah seperti al-Kulaynî, al-Mufîd,
al-Majlisî,
al-Khomeini dan para pengikutnya. Syi’ah Imamiyyah itu menganggap para sahabat
Nabi kafir dan murtad. Dan secara umum, bagi para penganut Syi’ah, imam
adalah penerus nabi. Dan kedudukan Imam sama seperti nabi, sebagai bukti (hujjah)
atas keadilan Tuhan kepada manusia di muka bumi. [hal. 47].
Pada bab sepuluh, penulis lebih fokus menjelaskan bagaiman
pertumbuhan dan perkembangan doktrin-doktrin Syi’ah dari pertama kemunculan
hingga kondisi terkini, yang diulas dalam sub-tema yang diberi judul “Evolusi
dan Inovasi Doktrin” Penulis menampilkan peta kronologis doktrin Syi’ah
dari abad pertama hingga abad ke lima belas. [hal. 58-73].
Salah satu hal terpenting daripada penganut Syi’ah adalah “Aqidah”
yang mereka yakini. Kenapa hal tersebut dipandang sangat penting, sebab ‘Aqidah
kelompok Syi’ah bertentangan jauh dari ‘Aqidah Ahlus Sunnah. Aqidah artinya
simpulan. Jamaknya ‘aqâ’id.
Yang maksudnya adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan. Istilah lainnya
adalah i’tiqâdât.
Terdapat beberapa perbedaan serius
antara ‘Aqidah Syi’ah dan ‘Aqidah Ahlus Sunnah. Penulis lantas menjelaskan satu
demi satu bentuk aqidah mereka. Diantaranya, Bada’, Wasiat, Nass, Sahabat,
Ghaybah, Raj’ah, Mahdi dan Non-Syi’ah. Semua dengan gamblang dijelaskan dalam
sub-bab dengan judul “Aqidah Syi’ah” [hal. 76-108].
Memasuki bab dua belas, penulis memaparkan “Tafsir Syi’ah” mengenai
penanfsiran penganut Syi’ah terhadap al-Qur’an yang cenderung manipulatif dan
distortif. Kelompok Syi’ah dengan sangaja merubah ayat-ayat Qur’antuk
membenarkan kepercayaan mereka dengan melompati makza zahir daripada Qur’an,
kemudian memberikan makna sesuai kehendak mereka. Seperti ayat 85 Surah
al-Qasas. Yang artinya (Sesungguhnya Dia yang mewajibkan engkau untuk
melaksanakan al-Qur’an benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali).
Ayat ini ditafsirkan oleh orang Syi’ah sebagai dalil raj’ah, yaitu
kembalinya Nabi atau Imam ke dunia setelah mereka mati. Terdapat beberapa lagi
penansiran mereka yang ‘nyeleneh’ dapat dibaca pada [hal. 109-118].
Pada bab setelahnya, penulis menalarkan mengenai “Hadits Syi’ah”
yang mana menurut Syi’ah hadis merupakan laporan ucapan, perbuatan ataupun
keputusan orang-orang suci yang terjaga dari kesalahan dan dosa (qawl al-ma’sûm
aw fi’luhu aw taqrîruhu)
yaitu para imam-imam dari kalangan ‘Ahlul Bayt yang kedudukannya mereka anggap
sama dengan Nabi dan diakui sebagai tempat merujuk untuk bertanya masalah
agama. Intinya, Imam mempunyai peran agung dalam periwayatan hadist. Pokoknya kalau
sudah kata imam semua harus diam. Atas nama imam nalar di bungkam. [hal.119-120]
Penulis juga memperkenalkan nama-nama kitab hadits Syi’ah yang
muktabar beserta kandungannya. Sebagai contoh, 1). Kitab al-Kâfî
(buku yang mencukupi) karangan Muhammad ibn Ya’qûb al-Kulaynî (w.329/940).
Kitab ini terdiri dari 8 jilid, dan memuat lebih dari 19.000
hadits. 2). Kitab Tahzîb al-Ahkâm
(saringan hukum-hukum) karangan Muhammad ibn al-Hasan Abu Ja’far at-Tusi alias Syekh at-Tâ’ifah
(w. 460/1067). Kitab ini berisikan kurang lebih 13.000 hadits. 3).
Kitab al-Wâfî (yang memenuhi) karangan Mullâ Muhsin alias al-Fayd al-Kâsyânî
(w.
1091/1560)
memuat sekitar 45.000 hadits. 4). Kitab Bihâr al-Anwâr al-jâmi’ah
li-durar akhbâr
al-a’immah al-athâr (Lautan
cahaya yang menghimpun mutiara-mutiara riwayat para imam suci). Karangan
Muhammad Bâqir
al-Majlisî (w.
1110/1699). Terhimpun tak kurang dari 85.000 hadits. Dan masih ada beberapa
kitab hadits lagi yang penulis kupas tuntas [hal. 120-122].
Adapun pada bab berikutnya, penulis memaparkan mengenai “Praktik
Syi’ah”. Yang mana penulis mencoba memaparkan praktik-praktik sosial dan
ritual yang menjadi ciri khas Syi’ah. Pertama, Taqiyyah. Kedua,
Barâ’ah. Ketiga,
Laknat. Keempat, ‘Asyura’ dan yang keenam, Mut’ah.
Dari praktik Taqiyyah hingga Mut’ah yang diamalkan oleh pengikut Syi’ah
menegaskan perbedaan jelas dengan Ahlus Sunnah. Bahwa praktik-praktik tersebut
hanyalah ajaran sempalan yang mereka racik sendiri dan mereka olah sendiri.
[hal. 123-138].
Bab terakhir penulis tutup dengan mengupas bagaimana perkembangan “Syi’ah
di Indonesia”. Termasuk membahas bagaimana sejarah awal
kedatangan, kemunculan Syi’ah di
Indonesia. Dan sebagai bab “Penutup” penulis merangkum pembahasan
utamanya mengenai sejarah, aqidah, legacy serta menjawab pertanyaan, apakah
orang Syi’ah itu kafir? Penulis memaparkan jawaban tersebut dengan mengutip pendapat
Imam abu’l Hasan al-‘Asy’arî dalam kitab beliau Maqâlât
al-Islâmiyyîn mengenai
berbagai (firaq) yang berbeda keyakinan (Khawarij, Syi’ah dan
sebagainya) bahwa mereka semua itu muslim. Akan tetapi perbuatan mereka telah
menyimpang, salah, tersesat, maksiat dan perbuatan mereka termasuk dosa besar. Cara
berfikir dan cara pandang (worldview) mereka sangat bermasalah atau
dalam bahasa lain worldview mereka tidak islami, bahkan keimanan mereka
boleh jadi gugur ketika mereka berkata dan meyakini bahwa Abu Bakr, Umar, Utsman itu kafir dan tuduhan tersebut tertu berbalik
kepada mereka sendiri. [hal. 139/148].
Semoga bermanfaat.
Wallahua’lam bisshowab
Judul Buku : Bukan
Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi’ah
Penulis : DR. Syamsuddin
Arif
Penerbit : INSISTS
(Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations)
Cetakan : Pertama
1439/2018.
Tebal : xii+204
halaman
ISBN : 978-602-19985-8-8
Peresensi : Sofian
Hadi