Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida ) Gontor
وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
Referensi: https://tafsirweb.com/9674-surat-muhammad-ayat-38.html
وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
Referensi: https://tafsirweb.com/9674-surat-muhammad-ayat-38.html
وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
Referensi: https://tafsirweb.com/9674-surat-muhammad-ayat-38.html
وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
Referensi: https://tafsirweb.com/9674-surat-muhammad-ayat-38.html
Dan jika kamu berpaling niscaya Dia
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu
ini.
Begitulah bunyi firman Allah dalam
al-Qur’an pada bagian akhir dari surat Muhammad ayat tiga puluh delapan. Penggalan
ayat ini merupakan sebuah ta’kid yang secara etimologinya mengandung
arti sebagai penguat. Sebab dalam kaidah bahasa arab, suatu informasi yang
disampaikan perlu diberikan ta’kid supaya orang yang menerima informasi
tersebut tidak ragu bahkan ingkar kepada ayat yang diwahyukan Allah kepada
utusan-Nya baginda Muhammad Saw. Petikan
terakhir dari ayat diatas merupakan fakta nyata berapa banyak golongan yang
berpaling dari syari’at dan hukum Islam, mereka akhirnya digantikan dengan kaum lain, kaum yang boleh jadi lebih buruk perangainya dari kaum sebelumnya.
Semoga ulasan yang akan dipaparkan berikut mampu membuka cakrawala pengetahuan
kita dalam melihat realitas kedaulatan nasip republik yang kita cintai.
Seiring waktu berjalan, pasca
proklamsi kemerdekaan tujuh puluh empat tahun silam, jargon pembelaan kedaulatan
pertiwi terus dikumandangkan. Semangat optimisme tak hentinya digelorakan.
Semua berdalih merebut start terbaik untuk berada di garda terdepan dalam
membela kedaulatan dan tegaknya keadilan di negeri ini. Begitulah selayaknya
jiwa pejuang, harus rela berkorban demi tegaknya kedaulatan. Kedaulatan yang telah
direbut dengan darah dan nyawa, dengan resolusi dan strategi, dengan jihad dan
semangat. Hingga pada akhirnya membuahkan hasil yang tidak sia-sia, yaitu
merengkuh kedaulatan pertiwi dari tangan kolonial.
Pasca keberhasilan memperjuangkan
kedaulatan negara, yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan yang gegap gempita dan bersumbu api gelora, tantangan baru sebaliknya mulai
bermunculan. Gerakan ideologi yang ingin meretas kedaulatan nusantara tumbuh
dengan semangat berbeda. Semangat yang tak kalah gemuruh dari semangat
proklamasi. Ideologi ini mulai unjuk taring dengan terang-terangan memunculkan teror
dipenjuru negeri. Bahkan, karena kepiawaian pemimpinya, negera
sempat mengakui ideologi ini untuk berpartisipasi dalam kancah perpolitikan. Bukan
tanpa alasan dan dasar yang jelas mereka bertindak, tujuan dan visi-misi mereka
bahkan lebih jelas dari lambang Garuda sebagai jaron negara. Tiga kali upaya
meretas nalar kedaulatan pertiwi mereka lakukan dimulai tahun 1926, 1948
hingga tahun 1968.
Jika pembaca ingin mengetahui kebengisan ideologi ini, silakah
membaca buku yang ditulis oleh Anab Afifi dan Thowaf Zuharon mengenai upaya
busuknya nalar berfikir dan bertindak kelompok atau ideologi ini. Betapa begis dan sadis para
penggugat kedaulatan itu memamerkan kedurjanaan mereka, tanpa sedikitpun gentar melanggar,nwalau bertentangan dengan pedoman kitab suci. Jika boleh jujur,
siapapun pasti tidak akan kuat untuk membaca habis buku itu, fakta sejarah yang
telah mereka pertontonkan tak ubahnya adengan thriller yang mereka
sutradarai sendiri. Sungguh tak ber-prikemanusiaan.
أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
Mereka
itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. (Al-‘Araf 179)
Mungkin
itulah gelar yang pantas disematkan kepada para pengusung ideologi ini (Binatang
ternak, sesat bahkan lebih sesat lagi) yang telah membantai puluhan juta
manusia dipenjuru dunia; Rusia, Cina, Kamboja, Eropa Timur, Amerika Latin,
Afrika, Afganistan hingga di bumi pertiwi. Padahal mereka mempunyai hati namun keras
bak batu-batu cadas, sombong, angkuh dalam memahami ayat-ayat Allah. Padahal mereka
mempunyai mata namun, mata mereka tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda
kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka mempunya telinga tetapi tidak dipakai untuk mendengar
ayat-ayat Allah. Sungguh merugi dan celakalah mereka.
Seperti itulah fitrah manusia
manusia, jika hatinya telah keras, kebenaran apapun tidak mempan menembus.
Segala bentuk perbuatan yang dilakukannya merupakan refleksi isi kepala dan
hati mereka yang kotor. Tindak-tanduk mereka yang brutal kepada penentang
ideologi yang mereka anut merupakan bukti nyata sifat kebinatangan mereka, bahkan
lebih rendah dari binatang itu sendiri. Cukuplah negeri ini menangis
menyaksikan kebiadaban dan kebengisan para penganut ideologi sesat ini.
Cukuplah derita nyawa yang dipaksa putus dari raganya. Betapa hina-dina
manusia-manusia yang berdiri dibarisan dan doktrin mereka. Maka ketahuilah
bahwa setiap perbuatan mereka akan dibalas dengan balasan setimpal.
Begitulah sejarah hitam negeri ini. Sejarah darah dan air mata. Kelam. Pahit, jika diurai terlalu dalam. Sungguh
berat beban yang digandar ibu pertiwi. Beban penjajahan, peperangan dan beban
penghianatan tak selayaknya dipikul sendiri. Beban yang harus digenggam oleh
jiwa yang patri bukan oposisi tirani. Jiwa yang tidak akan rela kedaulatan tanah pertiwi kembali diinjak-injak oleh jiwa-jiwa kolonial dan ideologi bengis mereka. Tinggal
sekarang, bagaimana usaha mengembalikan kedaulatan negeri. Merawat
kemudian menanamkan sikap patriot pada jiwa yang apatis akan nilai-nilai
kedaulatan yang selama ini semakin terkikis. Nilai kedaulatan yang terus
tergerus arus zaman yang lambat laun menjebak manusia kejurang kehancuran.
Kita tinggalkan sejenak pengembaraan
sejarah masa lalu, mari kita diskusikan beberapa poin penting tentang
kondisi kekinian negeri ini. Terlalu banyak masalah primordial yang muncul mendera tanah nusantara belakangan ini. Carut-marut ‘penjaga dan pembela
baru' negeri ini bermunculan ke permukaan dengan tendensi dan dalih
memperjuangkan, mempertahankan serta membela kedaulatan negeri. Entahlah,,
terlepas dari berjubelnya pemahaman aliansi, ormas, peguyuban dan sejenisnya. Namun,
bukannya semakin memperkokoh fondasi bumi pertiwi sebaliknya, terkesan memecah
belah kesatuan dan persatuan kedaulatan tersebut.
Hingga dalam satu dasawarsa, isu
kedaulatan negeri kaya-raya ini hangat diperbincangkan. Di satu sisi klaim menjaga
keutuhan tanah pusaka gencar disuarakan oleh sebagian kelompok. Mereka berkilah Negara Kesatuan adalah harga mati, pancasila adalah final. Sekiranya, ada yang mencoba
mengusik konsensus tersebut, oleh kelompok ini, tidak akan dibiarkan gentanyangan
dan berkeliaran. Bagi mereka bibit-bibit yang melenceng dari nilai pancasila
dan negera kesatuan tidak boleh tumbuh. Sekalipun, kelompok lain yang dituduh anti
pancasila juga paham, bahkan lebih mengerti definisi dari negara kesatuan harga mati
atau pancasila adalah final. Akan tetapi, inilah realita penduduk negeri ini, mereka seringkali kebablasan dan taklid berlebihan kepada ormas dan kelompoknya. Mungkin golongan
inilah yang disinyalir dalam Qur’an surah Rum ayat 32.
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Walhasil, klaim sepihak kelompok
pembela negara kesatuan atau pembela pancasila dengan golongan yang dituduh ‘anti’
pancasila lambat-laun menimbulkan gesekan serius. Saling provokasi dan
persekusi tak bisa dielakkan. Bentrok halus di dunia maya hingga dunia nyata
pun tak dapat didamaikan. Tudingan Saracen, hoax, rasis, anti bumi pertiwi, anti
pancasila, wahabi, radikal, khilafah, MAKAR dan sebagainya mencuat kepermukaan
hingga menjadi isu renyah yang terus digoreng dan siap saji. Pada dasarnya isu-isu
tersebut merupakan isu tunggangan yang dipakai untuk memarginalkan kedaulatan negeri dan Islam. Anehnya, para pemangku tertinggi negara ini memilih merespon
serius isu remeh-temeh tersebut sebaliknya, melalaikan isu ‘substansial’
yang menunggangi perkara itu. Terkesan solah-olah negeri ini dalam situasi genting
dan berbahaya. Akibat ketidakmampuan para elite bumi pertiwi dalam menangani
kasus-kasus tersebut, menciptakan kondisi semakin hari semakin chaos, masalah
demi masalah bertubi-tubi menghantam dan menggrogoti tubuh negeri ini.
Apa yang dikhawatirkan oleh rakyat
pribumi hanyalah jika peristiwa masa silam mencuat dengan kamuflase baru yang
terus memburu. Yang akan mengadu domba sesama warga. Sebagai warga pribumi,
bukan ingin menggugat namun berhak mengingatkan para elite penguasa negeri ini agar serius memecahkan masalah dan isu perpecahan di tengah kecamuk perpolitikan. Warga pribumi tidak rela jika chaos merajalela lantas
menikam jantung Negeri. Kemudian membelenggu, menjerat dan meretas sayap
Garuda dengan palu dan arit mereka, hingga pada akhirnya menyeret kedulatan negeri ini menuju dasar kehinaan dan mertabat randah terkoya-koyak.
Sungguh pun semua itu tidak diinginkan. Namun, warga pribumi ingin agar ke lima 'sila' di dada Garuda di tegakkan.
Jangan terlalu fobia dan paranoid dengan sila pertama. "Ketuhanan yang Maha Esa". Sila yang selama ini di marginalkan nilai dan hakekat-nya dari jiwa warga Indonesia. Padahal, Sila inilah yang melahirkan semangat perjuangan warga Indonesia. Pembelaan terhadap agama, akidah dan ideologi jernih, yang jauh dari nilai kesyirikan. Pengusiran penjajah, peperangan yang berkecamuk, pembelaan atas hak-hak negara, perjuangan dan seruan 'jihad' lahir tersebab pembelaan terhadap nilai Sila Pertama. Bagi siapapun berniat mengusik nilai sila pertama negara ini, jangan heran anda akan di cap sebagai 'kolonialisme' baru dan siap akan diperangi. Oleh karena sila pertama inilah Bangsa dan Negara ini berdiri kokoh.
Kepada elit negeri, tegakkanlah hukum yang seadil-adilnya. Bela dan perjuangkanlah hak-hak warga kecil yang dirampas ladang sawahnya. Perlakukan warga-mu sama di depan hukum. Jangan tebang pilih. jangan pandang bulu. Bantulah anak-anak desa yang terpasung kelaparan. Penduduk miskin yang hidup dan dilupakan. Jiwa kemanusiaan haruslah berbanding lurus dengan jiwa keadilan. Jika kalian para elite negeri mampu lakukan itu, derajat 'adab' kalian tentu lebih tinggi. Maka bela dan perjuangkanlah hak-hak warga-mu, disanalah kalian akan menemukan kandungan sila kedua. “Kemanusaiaan yang adil dan beradab”. Apa yang dibutuhkan oleh warga kecil, penduduk pinggiran, para pengemis jalanan adalah 'keadailan'. Keadailan yang dalam arti menempatkan hak-hak mereka sesuai pada tempatnya.
Jangan terlalu fobia dan paranoid dengan sila pertama. "Ketuhanan yang Maha Esa". Sila yang selama ini di marginalkan nilai dan hakekat-nya dari jiwa warga Indonesia. Padahal, Sila inilah yang melahirkan semangat perjuangan warga Indonesia. Pembelaan terhadap agama, akidah dan ideologi jernih, yang jauh dari nilai kesyirikan. Pengusiran penjajah, peperangan yang berkecamuk, pembelaan atas hak-hak negara, perjuangan dan seruan 'jihad' lahir tersebab pembelaan terhadap nilai Sila Pertama. Bagi siapapun berniat mengusik nilai sila pertama negara ini, jangan heran anda akan di cap sebagai 'kolonialisme' baru dan siap akan diperangi. Oleh karena sila pertama inilah Bangsa dan Negara ini berdiri kokoh.
Kepada elit negeri, tegakkanlah hukum yang seadil-adilnya. Bela dan perjuangkanlah hak-hak warga kecil yang dirampas ladang sawahnya. Perlakukan warga-mu sama di depan hukum. Jangan tebang pilih. jangan pandang bulu. Bantulah anak-anak desa yang terpasung kelaparan. Penduduk miskin yang hidup dan dilupakan. Jiwa kemanusiaan haruslah berbanding lurus dengan jiwa keadilan. Jika kalian para elite negeri mampu lakukan itu, derajat 'adab' kalian tentu lebih tinggi. Maka bela dan perjuangkanlah hak-hak warga-mu, disanalah kalian akan menemukan kandungan sila kedua. “Kemanusaiaan yang adil dan beradab”. Apa yang dibutuhkan oleh warga kecil, penduduk pinggiran, para pengemis jalanan adalah 'keadailan'. Keadailan yang dalam arti menempatkan hak-hak mereka sesuai pada tempatnya.
Jangan tanyakan kepada kami makna sila ketiga,
karena itulah sesungguhnya harapan dan cita-cita kami sebagai penghuni pertiwi.
Kami tidak akan rela membiarkan tanah pertiwi berjuang sendiri. Kami tidak
rela Garuda terbang dengan sayap patah. Kami ingin bilangan 34 yang melekat
erat di tubuhmu, lantas engkau ajak terbang membubung tinggi di udara. Itulah
komitmen kami bersamamu wahai Garuda dan negeri tercinta. Akan tetapi, kami tidak
habis pikir, tanah pertiwi dewasa ini ditumbuhi pohon-pohon ‘asing’ dengan duri-duri
tajam nan-beracun. Bulu Garuda dihinggapi kutu-kutu ‘busuk’ hingga nyaris saja
merontokkan sehelai demi sehalai rambut indahnya. Entah siapakah yang menanam
dan menyiram pohon ‘asing’ itu? Dan siapakah yang menabur kutu di rambutmu
wahai Garuda? Entahlah. Disinilah hilangnya sila keempat dan sila kelima dari dada Garuda, dan
tidak ada yang tahu siapa yang
mencurinya. Mungkinkah pencurinya, mereka yang sedang sibuk memasang kembali
dasi barunya dengan proyek dan tender besar mereka? Entahlah..
Setelah mengurai fakta sejarah dan
fakta kekinian mengenai nalar kedaulatan pertiwi, sampailah pada akhir kesimpulan.
Bahwasanya, siapaun yang memimpin negeri ini, jangan sampai berpaling dari
menegakkan kedaulatan negara dan agama, sebab jika hal ini diabaikan, maka bersiaplah
rakyat pribumi dan ummat akan ditindas oleh rezim yang kejam dan zalim lagi
lalim. Semoga keadilan dan kedaulatan ditegakkan. Agar tidak menjadi pelajaran
seperti kaum yang disindir pada ayat pertama di atas. Yaitu dipimpin oleh kaum
yang lebih baruk dari kaum sebelumnya.
Wallahu‘alam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar