Film layar lebar “Jungle” yang di rilis Oktober 2017 diangkat dari kisah nyata tentang seorang lelaki nekad (Daniel Radcliffe) dan dan tiga orang temannya tanpa sengaja bertemu saat liburan panjang di Bolivia. Singkat cerita mereka membuat kesepakatan untuk mengunjungi jantung hutan Amazon. Hal menarik yang membuat penonton tercengang dengan kisah dalam film ini adalah, bagaimana mereka dapat bertahan hidup di tengah hutan Amazon tersebut. Kisah yang lebih menantang tentang tantangan mereka mengarungi tanjakan “dead road” (jalan maut) yang mendapat julukan sebagai the most dangerous road in the world meliauk-liuk dari kaki pegunungan itu hingga ke puncak tertinggi gunung tersebut.
Treng Tali di bukit Rarak, mungkin sama dengan “dead road” di pegunungan Bolivia. Lekuk tanjakannya tajam menghujam. Jika terjadi kesalahan pada kendaraan yang di tunggangi atau kesalahan murni manusia ‘human error’ maka jangan salahkan tanjakan itu, saat anda akan di lempar jauh ke dasar bukit atau ke hutan rimba. Begitulah kira-kira gambaran menuju pengunungan Bolivia dan lereng bukit Rarak. Lumayan menguji nyali.
Yang sangat memukau adalah, selepas mengarungi tanjakan terjal itu mata akan dipaksa terpesona dengan suguhan panorama lukisan alam nyata. Pada saat riders atau pengunjung sampai di tanjakan ke lima (terakhir) yang di sebut oleh warga sekitar dengan ‘pruak sinyal’ akan memanjakan mata pengunjung hanya dengan membalikkan badan dan akan nampak lukisan hijaunya hutan dan bukit sekitar. Pandangan dengan panorama alami dan natural terhampar dari ujung pruak sinyal yang tajam itu. Kemilau keindahan bukit Rarak yang membentang jauh di pelupuk mata. Subhanallah, indahnya kreasi Sang Pencipta.
Keindahan bukit dan gunung di desa Rarak juga berbanding vertikal dengan keindahan dan keramahan hati para pendudunya. Seperti desa lainnya, para penduduk desa Rarak akan menyambut siapapun tamu yang datang dengan senyuman dan sapaan akrab. Entah sekedar basa-basi atau memberikan sambutan dengan bahasa yang memenangkan hati para pengunjung. Mungkin kalau bahasa kids jaman now “make yourself at home” kurang lebih seperti itulah pesan yang ingin mereka sampaikan kepada para pendatang.
Pengunjung juga tidak perlu merasa sungkan, karena sebenarnya ketika bayak mata tertuju kepadanya menandakan bahwa mereka respect atau hormat dengan kedatangan anda di dalam komunitas mereka. Tidak bisa dipungkiri siapapun yang tiba di tempat baru akan menjadi bahan perhatian yang harus ditunjukan oleh masyarakat sekitar. Artinya, tidak ada yang aneh dengan sambutan yang asing itu. Begitulah standar normal sambutan para penduduk desa Rarak dan desa lain pada umumnya.
Para pendatang bisa langsung berkomunikasi dengan santai dan bebas dengan warga. Karena mereka pasti akan melempar basa-basi “silamo sia ngesar”[1] atau “sia ngesar mo loka”[2] Jika para pengujung mendengar kata-kata basa-basi seperti itu, maka kedatangan Anda telah diterima dalam komunitas penduduk desa Rarak yang notabennya hidup dengan kesederhanaan. Mungkin akan sedikit berbeda dengan penduduk primitif di hutan Amazon yang notabennya agresif dan selektif terhadap pendatang baru. Para pendatang di hutan Amazon akan di hujani panah beracun jika mereka tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa warga Amazone yang condong konservatif (kolot. Silakan temukan film dengan judul “Lost in Amazone” dalam film itu diceritakan detail bagaimana expedisi tentara inggris untuk menguasai hutan Amazone agar masuk dalam peta dan kekuasaan mereka. Sebuah konspirasi politik yang cukup beresiko!
Jika warga Amazone adalah sekumpulan manusia konservatif yang masih jauh dari interaksi modern, maka sebaliknya dengan warga Rarak selangkah lebih progresif transformatif dari tuntutan zaman. Mereka sudah dapat menikmati layanan signal (sinyal) melalui cellphone atau mobile phone. Namun, permasalahannya mereka harus berlari menuju pruak sinyal sambil menerawang telephone mendeteksi tanda dimana sinyal berada. Setelah itu, mereka dapat berkomunikasi tanpa gangguan. Butuh perjuangan dan kesungguhan untuk mencapai sebuah harapan. Harapan mendapatkan sinyal full, agar komunikasi tidak putus di saat streaming atau live chatting berjalan normal.
Baiklah, kita lupakan sejenak tentang komparasi klasik kedua jenis warga ini. Saya akan lebih fokus membahas tentang 5 (lima) nama pruak (tanjakan) yang harus di terjang jika para pembaca ditakdirkan mengunjungi Desa Rarak. Atau jika ada pembaca yang sudah pernah iseng kesana lantas lupa nama tanjakannya, mungkin tulisan ini bisa membantu anda mengingat kembali memori mengerikan disaat anda mengarungi tanjakan maut itu.
Pruak Batu
Tanjakan ini adalah perkenalan pertama yang akan membuat para rider motor atau mobil extra waspada. Suasana natural alam, pohon-pohon yang bebas tumbuh di kiri-kanan jalan adalah suguhan menarik dari tanjakan batu ini. Kelokan yang menguji nyali kadang menghadang tanpa tanda arah seperti jalan raya di perkotaan. Kejelian mata memandang lurus adalah kunci agar tidak salah memilih haluan. Batu-batu dari ukuran kecil hingga ukuran besar kadang tidak bisa dihindari. Ini akan melatih rider memilih bagian kecil dari batu-batu cadas itu.
Dinamakan pruak batu, karena memang tanjakan ini memuat batu kerikil cadas yang menempel bebas di permukaan tanah tanjakan. Apabila batu-batu itu diinjak maka akan terlepas bebas. Sepertinya, penyebab utama tidak menempelnya batu kerikil itu adalah jenis tanah merah yang berpasir. Bukan jenis tanah liat. Sehingga tidak memberikan penguatan terhadap semua jenis batu yang terjebak di tanjakan ini.
Pruak Simpang Lamuntet
Jika tanjakan pertama (opening slope) di sambut ragam batu cadas, maka selanjutnya para rider akan di suguhkan dengan tanjakan Simpang Lamuntet. Dalam jarak tempuh beberapa kilo meter setelah meninggalkan desa lamuntet kec. Barang Rea dengan kondisi jalan yang masih extrem para rider harus tetap fokus dan extra confident karena anda akan kembali di tunggu tanjakan yang lebih tangguh. Namun di balik tanjakan yang tangguh di depan, nampak rindangnya dedaunan yang menutup ranting-ranting kecil pepohonan, terdengar juga heningnya gemercik air yang jatuh di atas batu licin tersusun alami, tanpa campur tangan manusia-manusia lemah.
Tanjakan simpang lamuntet ini mengirim pesan kepada riders dan para pengunjung supaya lebih tenang dalam menanjaki setiap jengkal jalan setapak yang menunggu dilintasi. Setelah tiba di ujung tanjakan ini, anda boleh berhenti sebentar dan memeriksa kelengkapan perabot motor atau mobil anda. Siapa tahu tanjakan itu telah merampasnya. Maka tidaklah heran jika tanjakan ini awal dari sebenarnya perjalanan uji nyali para rider dan pengujung. Setelah itu marilah melanjutkan petualangan menuju tantangan uji nyali yang lebih berat. Rarak itu berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja. DilanRarak. Hihi
Pruak Treng Tali
Mental itulah yang harus di persiapkan jika melintasi tanjakan treng tali ini. Sesuai dengan namanya tanjakan ini mempunyai arti yang dalam. Secara etimologi treng tali berasal dari kata treng yang artinya bambu atau ruas besinya bambu, sementara tali artinya erat/mengikat. Maka dapat di tarik sebuah definisi secara terminologi bahwa treng tali ini adalah tanjakan yang membutuhkan lekatan kuat untuk melintasinya. Ibarat rider sedang melintasi ruas besi bambu yang tajam, dapat dibayangkan betapa hati-hati dan penuh konsentrasi.
Tanjakan dan tikungan tajam berbanding pertikal serta pecahan batu yang berserakan di badan jalan menjadi tantangan tersendiri. Jika pengunjung salah mengalami kesalahan dalam mengontrol gas atau rem motor dan mobil, maka bersiaplah akan menghadapi kesulitan melanjutkan perjalanan. Mungkin saja anda akan kembali terlempar ke dasar tanjakan atau berhenti di tengah-tengah tanjakan treng tali. Suasana akan sangat berbeda 180 derajat Celsius jika cuaca kurang bersahabat atau hujan. Pertarungan antara nyali dan keberanian di tantang dalam arena tanjakan ini.
Seperti yang telah saya gambarkan di awal-awal, dead road di Bolivia sedikit memberikan gambaran kepada pembaca, bahwa gambaran saja sudah cukup membuat nyali ciut. Pun dengan treng tali sebuah gambaran nightmare bagi siapapun yang tidak pengalaman dalam mengarungi sebuah tanjakan. Pesan saya, tanjakan ini cukup berani jika anda tidak melawannya. Maka, kumpulkanlah keberanian untuk menantangnya.
Pruak Gintung
Persamaan antara treng tali dan pruak gintung adalah sama-sama menguji nyali dan mental rider atau pengunjung untuk menaklukkan tanjakan yang dahsyat ini. Apabila pengunjung di suruh memilih antara pruak gintung, dan treng tali, maka itu bukanlah sebuah pilihan melainkan sebuah jebakan, layaknya kasus ibu kota yang sempat marak tahun 2017 kemarin yaitu; “pilih pemimpin muslim tapi korup atau pemimpin kafir tapi adil” yang jelas ini bukan sebuah pilihan tapi sifatnya adalah jebakan kepada kaum muslim. Pernyataan tersebut merupakan penyesatan dalam kontek pemimpin. Yang sebenarnya adalah kita mempunyai pemimpin muslim adil, jujur dan tidak korup.
Pilihan yang terbaik dari kedua pruak ini adalah secepatnya pengunjung untuk melewati rintangan yang luar biasa ini. Pruak gintung juga tidak kalah terjal dari treng tali. Hanya saja, pruak gintung ada sedikit perbaikan seperti coran semen padat. Coran semen ini dimaksudkan untuk membantu para pengunjung atau rider agar lebih mudah melewati kubangan di tengah tanjakan ini. Tanah licin bercampur lumpur adalah awal-akhir dari pruak gintung ini. Maka waspadalah saat roda kendaraan terjerumus kedalam lumpur, ini akan membuat roda motor akan sulit bergerak. Bersiap-siaplah menarik napas dalam-dalam karena itu pertanda perjalanan butuh sejenak perhentian. Pesan dari pruak gintung ini, tetap jaga keseimbangan, mental baja dan fokus.
Pruak Sinyal
Hasil tidak akan menghianati usaha. Ungkapan ini senada dengan pepatah dalam dunia pesantren ”Man jadda wajada” siapapun yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil. Maka pruak sinyal inilah yang menjadi bukti kesungguhan para riders dan pengunjung. Setelah mengarungi empat pruak dengan level tantangan yang berbeda-beda, maka sebentar lagi anda akan menuju puncak terindah lukisan alam nyata. Lukisan indah yang akan meminta opriori pikiran anda untuk selalu ingin di kenang.
Pada akhirnya, pruak sinyal akan menyambut anda dengan senyuman. Tidak usah terburu-buru untuk melanjutkan perjalanan, karena beberapa meter lagi anda akan tiba di desa Rarak. Untuk melepas penat, setelah menaklukkan pruak sinyal, anda cobalah rilex sebentar, meregangkan badan anda di atas lagan yang terbuat dari bambu. Parkirkan motor atau mobil anda sejanak dan baliklah badan anda, dalam sekejap akan melihat indanya lukisan alam. Suasana pemandangan yang mempesona bak lukisan diatas kabut-kabut putih yang menaungi desa ini. Tentunya para rider tidak tahan untuk mengabadikan momen indak di desa dengan lukisan alam nyata. Ambil kamera dan selamat menikmati panorama indah ini.
Desa Rarak saat menurut informasi terbaru, telah diresmikan menjadi desa Wisata kedua di tanah Taliwang Kab. Sumabawa Barat, setelah Mantar menjadi Desa Wisata pertama dalam hal pelopor desa Wisata di pulau Sumbawa.
[1] Silakan mampir
[2] Silakan rehat kesini sejenak