Oleh: Fadhil Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Unida Gontor
Sebenarnya,
tidak ada niat menuangkan opini sederhana ini mengenai carut-marut permasalahan
bangsa yang semakin hari semakin chaos. Utamanya, tentang realitas mahalnya
harga tiket pesawat lintas nusantara yang marak belakangan ini. Namun, setelah
membaca berita berbagai media online yang lalu-lalang dengan judul
serampangan membuat otak ini lebar untuk berkomentar. Di tambah dengan membaca
komentar pedas para netizen, protes, keluhan, ketidak setujuan, hingga pada
kesimpulan mereka harus gigit jari tanpa bisa mendapat solusi.
Reaksi
masyarakat awam yang membaca headline berita terutama di media-media mainstream
diberbagai platform seperti Televisi, berita di internet, online, offline, cetak
maupun elektronik geleng-geleng kepala bahkan terbawa gerus ungkapan ‘it
doesn’t make sense!’ Itu tidak masuk akal! Alias ‘dungu’ memakai istilah RG.
Pasalnya, beberapa kebijakan pemerintah atau solusi para elite negeri antah-berantah
ini sepertinya ingin menjadikan ‘asing’ sebagai sumber solusi. Solusi bagi
seluruh sektor bidang pertumbuhan dan pembangunan khususnya, industrialisasi negeri
ini. Terlepas dari suhu perpolitikan yang sedang melahar. Benarkah negara ini sudah
kekurangan atau kehilangan ahli? Sehingga, negara yang pernah menjadi Macan
Asia, atau negeri yang pernah dijadikan Guru oleh negeri upin-ipin ini, selalu
menggandeng ‘asing’ dalam setiap pengelolaan sektor apapun, ketimbang menyaring
aspirasi para ahli negeri sendiri?
Dulu,
ketika anak-anak kecil ingusan di sekolah dasar, ditanya oleh gurunya, “apa cita-citamu
nak?” sang anak menjawab polos. “Aku ingin seperti Habibi, Bu guru” sang guru
mengangguk mengamini. Berharap kelak anak muridnya bisa seperti Habibi. Bukan
hanya sang guru, namun para orang tua juga selalu mendoakan anaknya “Semoga
kelak, kamu menjadi anak pintar seperti Habibi” Batin sang Ibu. Usut punya usut,
setelah beranjak dewasa, anak udik itu baru menyadari jika negara ini punya
seorang ikon manusia cerdas. Pantaslah, sang ikon itu menyandang gelar sebagai
manusia tercerdas di Indonesia bahkan di dunia. Dialah sang Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin
Jusuf Habibie sebagai penyandang gelar “Ahlinya ahli, intinya inti core of
the core.” Meminjam istilah pak Ndul.
Sayangnya,
kecerdasan beliau kurang mampu memberikan pengaruh terhadap gerus ‘asing’ yang
masih bercokol kuat di negara tercinta. Keahlian beliau sepertinya berat diwujudkan
di bumi pertiwi. Kurang bukti apalagi untuk menguji kejeniusan dan keahliannya?
Cita-cita besarnya setelah kuliah di Jerman, pulang ke Tanah Air dengan harapan,
mendapat dukungan pemerintah untuk proyek pesawatnya. Kandas. Bahkan tergilas. Kenapa
usulan-usulan bernasnya tak di gubris? Padahal, tahun 1995 beliau telah
merancang teknologi pesawat super canggih N250. Pesawat yang akan menjadi
jembatan udara antar pulau antar nusantara di bumi persada ini. Namun, hingga
akhir hidup beliau yang senja, hingga detik ini, perusahaan Dirgantara yang
digadang mampu menyelesaikan proyek tersebut tak dapat berkutik oleh politik
‘asing’. Bangkai pesawat itu mangkrak, berkarat tak terawat.
Semua
pasti sudah tahu alsannya. Jika saja pesawat N250 berhasil di produksi di tanah
air, maka dunia akan mengalami ancaman serius dalam pasar bisnis penerbangan di
Bumi Pertiwi. Boeing dan Airbus tak akan pernah masuk Indonesia. Boeing dan
Airbus akan gigit jari. Merengek mencari pasar. Dan, secara otomatis tidak akan
pernah ada dalam sejarah harga tiket pesawat hingga 21 juta di headline berita
nasional. Tak akan ada ucapan Menteri Perhubungan; “Tiket mahal, naik Bis aja”
atau ungkapan “Tiket pesawat mahal, salahkan Traveloka dan Tiket.com.” Hingga
kesimpulannya, presiden berfatwa “Undang maskapai ‘asing’ supaya harga tiket
pesawat turun”.
Semudah
itu kata ‘asing’ itu keluar dari mulut seorang presiden?
Sesimple
itu kah? Jika mengundang maskapai ‘asing’ lantas kompetisi udara akan kelar?
Kemanakah
para ahli tehnik, ahli pembangunan, ekonomi, industri, dan ahli-ahli lain yang
dilahirkan oleh Universitas-universitas elite dan kampus ternama negeri ini? ITB.
IPB. Bahkan ratusan kampus besar lainnya. Apakah kemampuan mereka dalam membangun
dan menata negeri ini di bawah standar ‘asing’? Sehingga kejeniusan mereka
tidak dilibatkan dan campakkan seperti sampah! Sebegitu pentingkah peran ‘asing’
bagi ibu pertiwi ini. Pertiwi yang merelakan anak negeri manjadi penonton,
pemulung, tukang parkir, tukang ojeg, buruh, penjual remote jalanan, hingga
guru-guru susah-payah mendidik, mengajar dan menancapkan cita-cita di pundak anak-anak
itu, setelah tamat sekolah dan kuliah menjadi penjual martabak.
Bila
‘asing’ menjadi prioritas tak usah tanya siapa yang minoritas. Tidak sulit
menjawabnya. Lihatlah manusia-manusia yang Ikhlas hidup di bawah reruntuhan
rumah mereka sendiri. Mereka yang rela kelaparan di bawah kolong-kolong tambang
dan pembuangan. Itulah minoritas. Minoritas di negeri mayoritas. Mayoritas yang
tidak pernah menjadi prioritas.
“Sesak
sekali napas rakyat jelata.. Melihat fakta di tanah melimpah nan-kaya raya.
Harta hanya milik penguasa. Haram disita atau diperiksa KaPeKa. Rakyat sudah
tak berdaya. Menyaksikan drama penguasa. Buas. Rakus. Tamak nan Durjana.”
Sebuah syair dari unanimous.
Bukan
karena tidak percaya elite penguasa. Tapi, sebagai warga pribumi kami menuntut kepercayaan
itu. Kepercayaan yang tidak diberikan kepada anak pribumi untuk berkontribusi
memajukan bumi pertiwi. Kepercayaan yang satu-satunya menjadi harapan kami. Kepercayaan
yang menjadi tumpuan hidup kami. Kepercayaan sebagai semangat tumpah dan darah
kami.
Kepercayaan
yang tak akan pernah kami khianati. Namun, kini kepercayaan itu di rampas
‘asing’ dicuri ‘asing’ dikelola ‘asing’ dibeli ‘asing’. Entah berapa tahun lagi,
Bumi Pertiwi, akan atau menjadi milik ‘asing’ dan benar-benar semua menjadi
‘asing’. Jika sebuah kepercayaan saja mampu dirampas ‘asing’ maka tidak ada
lagi yang lebih penting dari itu. Percayalah! Kecuali, hanya do’a berserah kepada
yang Maha Kuasa, untuk kebaikan tanah air tercinta.
Jika
keahlian sang jenius Habibi, tak dilirik oleh para elite penguasa dalam
mewujudkan N250 sebagai pelopor canggih saat itu, akankah nasip pesawat dengan prototype
baru R80 karya sang anak, Ilham Habibi akan bernasip sama? Tergerus? Tergilas? Oleh
elite AVTUR ‘asing’ atau sebaliknya, MAMPU menjadi solusi dalam melawan
hegemoni ‘asing’ di bumi pertiwi? Entahlah!
Waktu pun ragu untuk menjawab.
Wallahu’alam bisshowab.
Artikel
ini juga pernah di terbitkan di https://www.abdulmajid.id/
dengan judul “Melawan Hegemoni Asing”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar