Senin, 03 April 2017

Aktualisasi Nilai Sosial Islam Untuk Keutuhan Bangsa

Image result for islam dan dunia peradaban
Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida) Gontor


Di dalam buku The Clash of Civilization and the Remarking of The World Order, Samuel P. Huntingtong menuliskan sebuah refleksi tentang besarnya nilai dan kontribusi Islam dalam mewujudkan peradaban dunia. Dia mengatakan; “Satu-satunya peradaban yang membungkam Barat dalam semua lini dan sudut kehidupan serta yang dapat mengalahkan barat satu-satunya adalah peradaban Islam”. Sebagai seorang Ilmuwan politik non-Muslim, dia dengan jujur mangatakan kepada dunia Barat bahwa Islamlah yang telah membuat barat banyak belajar. Ini merupakan pengakuan pelaku sejarah akan damai dan indahnya Islam dalam mengatur tatanan dan kebersamaan dalam wadah “Peradaban” yang telah dicontohkan oleh para pendahulu. Berkaitan dengan hal ini, dalam teropong sosial dan kemasyarakatan, Islam diperkuat oleh sebuah magnet yang disebut dengan nilai. Yang mana, nilai inilah yang membentuk sebuah masyarakat yang dapat hidup secara berdampingan, tanpa ada rasa saling menghina satu sama lain. Untuk lebih jelasnya dalam hal ini penulis sedikit akan memaparkan sebuah essay tentang “Aktualisasi Nilai Sosial Islam Untuk Keutuhan Bangsa”

Secara etimologi, kata aktualisasi merupakan derivasi dari Bahasa Inggris actual yang artinya real, existing in fact (sesuatu yang nyata, atau berpijak pada kenyataan) yang dalam definisi terminologinya merupakan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi dan menjadi topik hangat dalam pemberitaan. Dari pengertian actual diatas penulis mencoba mendefinisikan bahwa aktualisasi nilai sosial Islam dalam keutuhan bangsa merupakan sebuah suatu kenyataan, yang berorientasi kepada hubungan antara nilai Islam dengan kehidupa sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Fakta kehadiran Islam di wilayah yang berhasil ditaklukkan, ternyata memberikan sebuah pengaruh sosial dalam hubungan berinteraksi dan bermasyarakat, baik itu dengan penganut agama lain dan penganut kepercayaan lain. Pada kenyataannya Islam telah menampakkan sebuah desaign kemajemukan dan toleransi yang tidak dapat dibantah oleh bangsa manapun. Bahkan bangsa barat itu sendiri, yang saat ini mengklaim bahwa merekalah bangsa yang menjunjung tinggi toleransi. Di dalam Islam, konsep tolereansi atau tasammuh telah berhasil diterapkan tanpa ada pemaksaan antara pemeluk agama, bangsa, suku dan ras. Hal inilah yang membuat islam dapat diterima oleh masyarakat dan bangsa manapun. 

Didalam konteks ke-Indonesiaan, Islam sebagai agama mayoritas mampu mempersatukan perbedaan-perbedaan baik dari segi kultur, etnis, ras, suku dan bahasa. Perbedaan fundamental tersebut memang menjadi keniscayaan yang sulit untuk dihindari dan ditentang. Sebagai agama mayoritas, Islam mampu menciptakan sebuah nilai sosial keagamaan yang luhur diatas perbedaan-perbedaan kultur/budaya dan bahasa. Walaupun, upaya untuk memperkecil nilai dan peran Islam di Nusantara ini masih terasa semenjak para orientalis Belada Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa; Islam adalah agama yang tidak bisa berdamai dengan peradaban modern. Islam hanya akan bisa bertahan di era-modern kecuali dengan satu hal yaitu, merubah cara berfikir muslim itu menjadi pamahaman yang radikal. Yaitu, bagaimana cara merusak pemahaman tentang nilai-nilai Islam menjadi sebuah pemahaman yang kaku dan bertentangan dengan modernisme. 

Keragaman budaya yang dimiliki Indonesia bagitu lekat dan kuat dengan Pancasila sebagai ideology Negara dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyannya. Hal ini telah menjadi ikon keberagaman dan kebersamaan dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Bagaimana sebenarnya simbol ke-Bhinekaan tersebut tetap utuh dan tegak sampai saat ini? Inilah sebuah rahasia yang belum banyak dari masyarakat Indonesia memahaminya. Bahwa unsur-unsur ke-bhinekaan tersebut mempunyai nilai yang luhur yang besumber dari Islam atau lebih jelasnya besumber dari Qur’an sebagai sebuah petunjuk dan pedoman bagi kehidupan dalam menyatukan semua perbedaaan baik itu perbaedaan agama, budaya, bahasa, suku dan sebaginya. 

Akhir-akhir ini, bangsa kita digoncangkan dengan berbagai jenis isu dan propaganda negative yang mencoba untuk memecah belah kesatuan Indonesia. Isu dan propaganda yang ingin merusak tatanan nilai dan toleransi yang telah lama dibingkai dengan nilai religiusitas yang tinggi. Mungkin kita masih ingat bagaimana propaganda yang dilakukan oleh Australia yang mencoba untuk melecehkan ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila diplesetkan menjadi “pancagila” dan “Lima prinsip gila” Sebuah propaganda yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh negara yang menjunjung tinggi kerjasama bilateral dengan Indonesia. Bangsa Indonesia seolah-olah kehilangan hargadiri dimata dunia. Namun, berkat ketegasan dan keberanian Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo akhirnya Indonesia memutuskan hubungan kerjasam militer dengan Australia dan pemerintah Australia dipaksa untuk meminta maaf serta melakukan penyelidikan atas pelecehan kasus tersebut. 

Ketika bangsa ini dilecehkan dan direndahkan saat itulah rakyat dan seluruh elemen masyarakat bersatu dalam satu komando yaitu menegakkan keutuhan bangsa ini. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh tinggal diam didalam membela keutuhan Republik ini. Sebab, apabila rakyat dan pemerintah tidak bergerak membela bangsa ini, maka keutuhan bangsa serta nilai sosial bangsa ini, akan mudah dijajah dan dilecehkan. 

Berkaca kepada landasan ideologi bangsa ini yaitu pancasila, maka landasan ini sangat sesuai aktualisasinya dengan pesan-pesan luhur yang disampaikan Islam dalam mengarahkan pengikutnya untuk patuh kepada nilai luhur tersebut. Ini menandakan bahwa landasan tersebut telah dimaknai sebagai akar batang yang menjulang keras kedalam jiwa penduduk bangsa ini. Perbedaan yang menjadi kemajemukan dalam tubuh bangsa ini telah dipupuk dengan erat, kuat oleh sebuah nilai toleransi antara agama, budaya, adat istiadat dan bahasa. Semuanya bercampur menjadi sebuah keragaman dan menciptakan sebuah falsafah persaudaraan yang sejati baik itu antara umat beragama yang satu dengan umat beragama yang lain.

Sejenak, marilah kita melihat fenomena yang sedang melanda bangsa ini. Penyakit-penyakit penistaan, penghinaan, korupsi, pelecehan dan sebagainya, datang dengan slogan ingin memecah belah umat dan ideologi bangsa yang telah dibangun diatas nilai Islam. Fenomena ini hadir sebagai tantangan baru bangsa dan rakyat Indonesia, yang sebelumnya telah hidup dalam ukhuwah atau persaudaraan yang kuat. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila seolah-oleh tidak relevan lagi dengan kemajuan bangsa saaat ini. Padahal nilai pancasilalah yang menempatkan berbagai ras, suku, dan agama di dalam wilayah yang tebentang sekitar 5000 kilometer dari Barat ke Timur. Tanpa membeda-bedakan suatu golongna atau kelompok di atas kelompok lainnya. 

Menurut Komarudin Hidayat, jika kita sepakat membangun rumah tangga Indonesia modern dengan luas wilayah dan pluralitas etnis serta agama seperti yang ada saat ini, kita harus sepakat untuk menggunakan paradigma yang sama, bahwa Republik Indonesia adalah rumah kita yang harus kita jaga bersama-sama. Ibarat satu bangunan rumah besar silakan masing-masing penghuninya menempati dan menata kamarnya, namun jangan sampai merusak bangunan kamar sebelah atau malah menggoyang bangunan rumah secara keseluruhan. 

Apa yang menjadi kekhawatiran bangsa, ternyata saat ini mulai muncul kepermukaan. Permasalahan tersebut menjadi sangat pelik dan sarat akan nilai perpecahan dan penistaan. Slogan toleransi berlebihan diausung secara berlebihan. Seolah-olah bangsa ini buta akan toleransi, seolah-olah nilai Islam anti akan toleransi atau tasammuh. Munculnya permasalahan bangsa ini sebenarnya karena sebuah kekeliruan dalam memahami falsafah bangsa yang telah lama diusung dan dipertahanan. Munculnya berbagai gerakan yang mengatasnamakan pro-kebhinekaan seolah-olah menjadi alasan untuk mereka untuk melanggar nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal inilah yang memicu terjadinya disintegrasi bangsa yang telah dibangun selalu berpuluh-puluh tahun. 

Sebagai negara yang berdualat, Indonesia tidak boleh lengah dalam menghadapi berbagai propaganda yang sekarang muncul kepermukaan. Seyogyanyalah sekarang para elite pemangku keuasaan harus berfikir bagaimana memberikan pemahaman terhadap ideology dan nilai pancasila itu yang sekarang seperti menjauh dari intelektual dan wawasan rakyat ini. Jika hal ini dibiarkan, maka para pelaku propaganda yang mencoba mencoreng nilai pancasila tersebut akan tetap melakuakan tindakan kurang ajar mereka, seperti, menodai, menistakan dan memprovokasi rakyat untuk mencoreng wajah Bangsa ini. 

Sebagaimana yang telah penulis sampaikan diatas, bahwa upaya untuk memperkecil nilai dan peran Islam di Nusantara ini masih terasa semenjak para orientalis Belada. Ini merupakan sebuah pesan terbuka khususnya kepada atnis muslim yang sekarang unggul dalam jumlah atau kuantitas. Upaya-upaya De-Islamisasi yang coba diusung oleh para orientalis dari jaman Belanda terebut nyatanya sampai sekarang masih mendapat tempat di negara yang mayoritas Muslim. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena akan berdampak fatal bagi Kesatuan negara. Rakyat dan masyarakat sekarang sudah dapat mencium upaya dan gerakan de-Islamisasi yang muncul dengan berbagai topeng dan jenis pergerakannya. 

Demi menjaga keutuhan bangsa, maka kesiapan para pejuang ideologi dan nilai Islam harus bersatu padu dalam satu komando perjuangan melawan para orientalis yang ingin memecah-belah Bangsa ini. Jangan sampai kita terlihat lemah dan rapuh dalam membingkai kebersamaan dan persatuan. Kobarkanlah semangat perjuangan dan perlawanan demi tegaknya nilai Islam yang menjadi dasar pembangunan Bangsa ini. Jangan sampai nilai bangsa ini rusak hanya karena oknum yang mempunayi kekuasaan, lantas dengan kekuasaanya, menjadikan nilai dan ukhwah masyarakat menjadi tidak harmonis dan saling bermusuhan. 

Sebenarnya kekuatan dan kejayaan bangsa ini ada pada Islam, sebagai sebuah fakta yang tidak bisa disangkal. Melihat berbagai macam upaya pengaburan terhadap hal itu maka, masyarakat terbawa dan terjebak dalam pembodohan sejarah yang terus menerus digencarkan oleh para pelaku propaganda. Mereka semakin hari semakin berani mempengaruhi para generasi muda bangsa ini dengan slogan-slogan ke-bhinekaan dan toleransi, yang seolah-olah menganggap Islam hanya sebagai agama yang tidak mengerti tentang toleransi dan ke-bhinekaan.

Seperti pada awal paragraph dikatakan oleh Samuel P. Huntington tentang Islam sebagai peradaban yang telah memberikan jasa besar terhadap masa kegelapan Barat, merupakan sebuah fakta real bahwa, Islam dan nilai-nilainya yang luhur telah mampu meciptakan sebuah peradaban besar yang mampu menjadi agama pemersatu umat beragama. Bukan hanya agama islam itu sendiri, melainkan semua agama diluar Islam. 

Thomas W. Arnold di dalam bukunya “The Preaching of Islam” mengatakan bahwa kalian wahai kaum muslimin lebih kami cintai dari pada Romawi meskipun agama mereka sama dengan kami. Kalian lebih bisa memenuhi janji, lebih ramah, lebih bisa menahan tangan dari berbuat zalim, dan lebih baik dalam hal melindungi kami, tetapi mereka (Romawi) selalu memaksa kami. Sejenak, setelah membaca pengakuan non-muslim di atas, dapatlah menjadi sebuah fakta baru bahwa Islam itu adalah agama yang cinta damai dan cinta kedamaian.

Akhirnya, dari beberapa penjabaran tentang Aktualisasi Nilai Sosial Islam Untuk Keutuhan Bangsa. Penulis menyimpulkan bahwa nilai Islam yang telah menyatukan bangsa ini harus dipertahankan dan dibela, bukan untuk dirusak dan dinistakan. Siapapun mereka yang membangun propaganda ingin mencoreng wajah dan falsafah Bangsa ini harus segera ditindak dan diberikan hukuman dengan setimpal, sesuai dengan perbuatannya. 

Wallhua’lam bis showab.







Daftar Bacaan


Adian Husaini. 2009. Indonesia Masa Depan, Persfektif Peradaban Islam, Jakarta: Gema Insani Press.

Adhyaksa Dault. 2012. MENGHADANG NEGARA GAGAL Sebuah Ijtihad Politik, Jakarta Selatan: Rene Book.

Kamus off-line Cambride Avanced Learner’s Dictionary Third Edition.

KBBI on-line. http://kbbi.web.id/aktual

Komaruddin Hidayat, 1999. Reposisi Peran Agama. Dalam Demokrasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa, Jakarta: Kompas

Moch. Syarifin Maloko. 2001. Pancasila De-Islamisasi dan Politik Provokasi, Yogyakarta: Poestaka Bersatoe

Makalah Bramastiyo Dhieka Anugrah, 2016. Kriteria Pemimpin Dalam Islam, Menyingkap Problematika Pemimpin Non-Muslim.

Samuael P. Huntington. 1996. The Clash of Civilization and the Remarking of The World Order, New York: Touchtone Book.

Syamsul Hidayat, M.A. Hubungan Pancasila dengan Nilai Ajaran Islam. http://sangpencerah.id/2013/10/hubungan -pancasila-dengan-nilai-ajaran.html. Diakses tanggal 24-02-2017.


Sumber Internet

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/867017-penghinaan-pancasila-di-kurikulum-australia-sudah-sejak-lama.

https://dunia.tempo.co/read/news/2017/01/04/120832607/ini-materi-pelatihan-militer-australia-yang-hina-indonesia.