Jumat, 05 November 2021

Sematan "asing" pada Islam


Oleh: Fadhil Sofian Hadi

Mahasiswa Pascasarjana Unida Gontor

 

 

"Islam Radikal" adalah terminologi yang sering dipakai untuk memfitnah atau menuduh Islam sebagai agama kekerasan, ekstrim dan sebagainya. Sudah manjadi konsumsi publik bahwa terma  'radikal' tanpa rasa tanggung jawab digunakan dan diterima sebagai terminologi yang benar oleh lapisan masyarakat. Padahal, Islam sendiri tidak menyematkan pelabelan khusus atas kesempurnaanya.

Islam radikal, Islam liberal, Islam fundamental, Islam konservatif, Islam progresif dan berbagai label-label yang dipaksakan 'menempel' pada Islam adalah terminologi karbitan, asongan dengan maksud jelas ingin memunculkan stigma negatif terhadap kemuliaan Islam.

Terminologi ‘asing’ tersebut secara terus menerus disorot, diangkat, di blow-up, ditayangkan di media-media mainstream, pagi, siang, malam. Sehingga tanpa sadar publik secara terpaksa menerima mentah-mentah, terminologi tersebut walau beberapa kalangan menolak, dan tidak membenarkannya.

Namun seperti itulah, ๐“‘๐“พ๐“ฝ ๐“ฝ๐“ฑ๐“ฎ ๐“ข๐“ฑ๐“ธ๐”€ ๐“ถ๐“พ๐“ผ๐“ฝ ๐“ฐ๐“ธ ๐“ธ๐“ท. Bahwa stigma tersebut harus tetap sesuai skenario. Tidak boleh berhenti. Hingga pada titik kulminasi terminologi lain hadir untuk mendukung stigma negatif atas Islam, lahirlah apa yang disebut dengan terma baru yaitu 'teroris'. Bahwa, siapapun yang radikal dalam beragama (Islam) akan dilabeli sebagai teroris. Label yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. 

Kasus 11 September 2001, 9/11 adalah gerakan busuk yang digencarkan Barat sebagai upaya penyerangan dan peperangan terhadap Ormas dan Negar-Negara Islam. Adalah George Walker Bush  President Amerika yang ke 43 masa jabatan 2001-2009 adalah manusia yang harus bertanggung jawab sekaligus pencetus istilah "Terroris" yang hingga kini terus digencarkan.

Tentunya semua terminolagi atau istilah tersebut telah matang di kukus dengan berbagai macam kasus, tragedi, kejadian dan sebagainya. Semuanya akan mengarah kepada stigma memarginalkan, menyudutkan dan mengucilkan Islam.  

Kembali kepada 'radikalisme' yang pada satu sisi memiliki makna yang positif yaitu 'mengakar' atau secara harfiah artinya (radix), sumber, asal, dasar. Masalah kemudian muncul pada saat ini radikalisme dimaknai secara secara singkat, sebatas sebagai paham extrimisme.

Dampak atau efeknya adalah umat Islam ragu dalam menunjukkan identitas ke-Islamannya. Padahal, identitas tersebut merupakan hasil dari pengkajian, penelitian dan pencarian akan nilai-nilai kemurnian Islam yang berasal dari sumber atau akar Islam yang benar. Sehingga, asumsi lain kembali hadir, '๐™…๐™ž๐™ ๐™– ๐™ข๐™š๐™ฃ๐™™๐™–๐™ก๐™–๐™ข๐™ž ๐™„๐™จ๐™ก๐™–๐™ข ๐™จ๐™š๐™˜๐™–๐™ง๐™– ๐™ข๐™š๐™ฃ๐™™๐™–๐™ก๐™–๐™ข ๐™–๐™ ๐™–๐™ฃ ๐™—๐™š๐™ง๐™–๐™ ๐™๐™ž๐™ง ๐™ง๐™–๐™™๐™ž๐™ ๐™–๐™ก, ๐™–๐™ฉ๐™–๐™ช ๐™™๐™ž ๐™˜๐™–๐™ฅ ๐™ง๐™–๐™™๐™ž๐™ ๐™–๐™ก'

Asumsi ini tentu saja sangat merusak, melemahkan, melukai, sekaligus mengganggu tatanan sosial keagamaan umat Islam, disebabkan telah keliru dalam memahami konsep pemikiran keagamaan. Dari asumsi tersebut umat Islam kurang percaya diri akan agama, ibadah dan ritual yang dilakukannya.

Kemudian, jika ditalaah secara ideologis, terminologi 'radikal' merupakan paket atau bagian dari proses 'Liberalisme" yang mana seorang Muslim dalam teori dan prakteknya harus dijauhkan dari akar, sumber, dasar keagamaannya.

Tidak ada Islam Radikal atau embel-embel lain yang disematkan. Kalaupun sebagian dari umat Islam yang melakukan kekerasan jangan salahkan Islamnya, namun itu adalah segelintir oknum. Sekali lagi, salahkan penganutnya bukan Islamnya. Sebab Islam telah datang dengan kesempurnaan aqidah, ajaran, hukum dan aturan main dari yang menurunkan olehnya, yaitu Allah Swt.

Wallahu a’lam bisshowรขb