Kamis, 26 Maret 2020

Resensi Buku "Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi’ah"

Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida) Gontor


Berikut ini saya berkesempatan kembali meresensi sebuah buku karangan Dr. Syamsuddin Arif yang juga berstatus sebagai dosen saya di Unida Gontor yang mengampu mata kuliah ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’. Walaupun tidak berkaitan dengan mata kuliah yang beliau ajarkan, Dr. Syamsudddin Arif tidak lantas minim pengetahuan tentang ilmu diluar kepakaran baliau. Buku ini adalah jaminannya. Pembahasan mendalam yang bernas nan cerdas dengan merujuk kepada kepada referensi primer dari para pentolan Syi’ah cukup membuat para pembaca kagum dengan keluasan ilmu yang beliau miliki.

Buku ini lugas, sarat dan padat. Yang akan menuntun pembacanya untuk terus membaca pelan hingga terkadang membalik ulang kertas halaman, tersebab tidak ingin terjebak dalam kealpaan ‘istilah-istilah’ yang dianggap rumit namun tetap masih bisa dicera otak. Jika melihat keotentikan referensi yang di rujuk beliau boleh dikatakan pakar mengenai penganut Syi’ah ini. Buku sangat recommended bagi para mahasiswa, akademisi maupun masyarakat awam. Ataupun  yang penasaran dengan Syi’ah, terkhusus bagi umat Islam yang tidak ingin terjangkiti virus ajaran Syi’ah. 
Selamat membaca!  

Sejauh penelitian yang berkembang dalam sejarah dan penjelasan para ulama, terdapat tiga macam syi’ah yang dipaparkan oleh Dr. Syamsuddin Arif penulis buku ini. Para pengkaji Syi’ah belum dapat membedah ketiga macam syi’ah. Pertama, Syi’ah terminologis; kedua Syi’ah politis; dan ketiga Syi’ah ideologis. Jika digambar polanya seperti tanda panah di bawah ini’
Penulis memaparkan makna Syi’ah terminologis secara bahasa dalam arti umum menurut kamus, atau secara harfiah yang asalnya bermakna kelompok, pengikut, pembela. Dalam pengertian ini, penulis menyentil Nusron Wahid misalnya sebagai "Syi'ah Ahok" yaitu Syi'ah secara terminologis karena, Nusron merupakan salah seorang pembela atau pengikut Ahok. Penjelasan mengenai makna, arti dan terminologi ‘Syi’ah’ ini dibahas dengan panjang lebar pada hal. 11 dengan sub judul “Persoalan Istilah”. Selanjutnya, Syi’ah politis merupakan syi’ah dalam arti khusus, merujuk kepada kata yang dipakai untuk menyebut para sahabat yang mendukung, berpihak kepada, dan yang setia berjuang bersama Sayyidina ‘Ali pada masa konflik pasca wafatnya Khalifah ‘Utsman bin Affan.

Adapun yang ketiga, Syi’ah ideologis yang dijelaskan oleh penulis adalah syi’ah dengan makna dan arti tersendiri yang masuk dalam ranah keyakinan (‘aqidah atau i’tiqad), pola pikir (mindset), kerangka berfikir (intellectual  framework) hingga kepada cara pandangan terhadap dunia (worldview), yang pada akhirnya akan membentuk sikap, mempengaruhi tingkah laku serta menetapkan dan menentukan bentuk penerimaan dan penolakan orang terhadap suatu informasi, memberikan bentuk pemahaman, mewarnai penafsirannya terhadap fakta, realita dan peristiwa. Dalam kalimat lain, penulis mengatakan bahwa syi’ah ideolgis ini merupakan gerakan sempalan yang muncul belakangan sekitar dua ratus tahun pasca wafatnya Rasulullah Saw. [hal. 15-16].

Mengenai Syi’ah ideologis penulis buku ini melanjutkan penjelasannya dengan membagi Syi’ah ideologis ke dalam tiga varian. Pertama proto-Syi’ah [syi’ah tafdil]. Kedua [syyi’ah Rafidah], ketiga, [syi’ah ghuluww]. Jenis Syi’ah tafdil, hanya sekedar atau menganggap Sayyidina ‘Ali sebagai orang unggul, hebat sekaligus istimewa [afdal] dibandingkan dengan para sahabat Rasulullah yang lain. Hal ini tanpa disertai dengan pengingkaran, penolakan, pelecehan atau kutukan terhadap ketiga khalifah sebelum Sayyidina’Ali yaitu (Abu Bakar Sidiq, Umar Bin Khattab dan Ustman Bib Affan) begitupun terhadap sahabat Rasulullah Saw. [hal. 39].

Syi’ah rafd/rafidah kelompok yang menyatakan pendapat bahwa  Sayyidina ‘Ali adalah satu-satunya orang yang paling berhak menjadi pemimpin umat sesudah Rasulullah wafat. Oleh karenanya kelompok ini menafikan kekhalifahan sebelumnya tidak sah. Maka golongan ini dijuluki al-firqah al-rafidah alias al-Rawafid. Sebutan rafidi dan rafidah yang disematkan kepada orang syi’ah memang sudah lumrah digunakan sejak abad kedua Hijrah. Jika dilihat dari perspektif awam, syi’ah jenis ini (rafidah) masyhur atau popular sebab banyak ulama ahlus sunnah sering menggunakan istilah rafidah dalam ceramah dan dakwah mereka. Hingga Imam Malik dan Imam as-Syafi’i menyebut Syi’ah idelogis itu rafidah. Keyakinan mereka mengenai penunjukan Sayyidina ‘Ali dan Imam sesudahnya secara tegas (bi’n-nass) yakni tidak melalui musyawarah atau pemilihan. Maka kelompok Syi’ah ini juga dikenal dengan sebutan Syi’ah Imamiyyah. Adapun kelompok Syi’ah imamiyyah ini juga pecah menjadi beberapa aliran. Rincian mengenai aliran ini silakan lihat [hal 40-43]. 

Yang ketiga yaitu Syi’ah ghuluww atau ‘Ghulat’ yaitu kelompok yang mempunyai kepercayaan aneh, pelik atau rumit yang cenderung kufur dan syirik. Mereka lebih percaya Sayyidina ‘Ali itu Tuhan yang berwujud manusia (‘ala sûrat al-insân) dan percaya Tuhan itu dapat bersemayam di dalam tubuh seseorang (yahullu fi ‘l-asykhâs). Menurut aliran ini juga yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan itu Nabi Muhammad, bahwa Ruh Suci itu ialah Tuhan yang mulanya berada pada diri Nabi lantas berpindah ke ‘Alî dan imam-imam sesudahnya. Ruh manusia itu berpindah-pindah dengan bertukar jasad, hingga orang mati dapat hidup kembali, namun ‘Alî dan imam-imam sesudahnya tidak mati sebab akan datang lagi di akhir Zaman untuk memenuhi dunia dengan keadilan. [hal. 43-44].

Menyelami bab berikutnya, penulis dengan keluasan cakrawala pengetahuannya menjelaskan tentangi Syi’ah Takfîrî dan Taqdîsî. Kedua jenis Syi’ah ini masing-masing tidak hanya menolak legitimasi para khalifah selain Sayyidina ‘Ali, sebaliknya menganggap semua sahabat mentang ‘Ali dan tidak mengimami sesudah itu adalah kafir. Bagi kelompok ini juga Sayyidina ‘Ali juga dikuduskan atau disucikan. Yang termasuk dalam kelompok ini orang Syi’ah Imamiyah seperti al-Kulaynî, al-Mufîd, al-Majlisî, al-Khomeini dan para pengikutnya. Syi’ah Imamiyyah itu menganggap para sahabat Nabi kafir dan murtad. Dan secara umum, bagi para penganut Syi’ah, imam adalah penerus nabi. Dan kedudukan Imam sama seperti nabi, sebagai bukti (hujjah) atas keadilan Tuhan kepada manusia di muka bumi. [hal. 47].

Pada bab sepuluh, penulis lebih fokus menjelaskan bagaiman pertumbuhan dan perkembangan doktrin-doktrin Syi’ah dari pertama kemunculan hingga kondisi terkini, yang diulas dalam sub-tema yang diberi judul “Evolusi dan Inovasi Doktrin” Penulis menampilkan peta kronologis doktrin Syi’ah dari abad pertama hingga abad ke lima belas. [hal. 58-73].

Salah satu hal terpenting daripada penganut Syi’ah adalah “Aqidah” yang mereka yakini. Kenapa hal tersebut dipandang sangat penting, sebab ‘Aqidah kelompok Syi’ah bertentangan jauh dari ‘Aqidah Ahlus Sunnah. Aqidah artinya simpulan. Jamaknya ‘aqâ’id. Yang maksudnya adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan. Istilah lainnya adalah i’tiqâdât. Terdapat beberapa perbedaan  serius antara ‘Aqidah Syi’ah dan ‘Aqidah Ahlus Sunnah. Penulis lantas menjelaskan satu demi satu bentuk aqidah mereka. Diantaranya, Bada’, Wasiat, Nass, Sahabat, Ghaybah, Raj’ah, Mahdi dan Non-Syi’ah. Semua dengan gamblang dijelaskan dalam sub-bab dengan judul “Aqidah Syi’ah” [hal. 76-108].

Memasuki bab dua belas, penulis memaparkan “Tafsir Syi’ah” mengenai penanfsiran penganut Syi’ah terhadap al-Qur’an yang cenderung manipulatif dan distortif. Kelompok Syi’ah dengan sangaja merubah ayat-ayat Qur’antuk membenarkan kepercayaan mereka dengan melompati makza zahir daripada Qur’an, kemudian memberikan makna sesuai kehendak mereka. Seperti ayat 85 Surah al-Qasas. Yang artinya (Sesungguhnya Dia yang mewajibkan engkau untuk melaksanakan al-Qur’an benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali). Ayat ini ditafsirkan oleh orang Syi’ah sebagai dalil raj’ah, yaitu kembalinya Nabi atau Imam ke dunia setelah mereka mati. Terdapat beberapa lagi penansiran mereka yang ‘nyeleneh’ dapat dibaca pada [hal. 109-118].

Pada bab setelahnya, penulis menalarkan mengenai “Hadits Syi’ah” yang mana menurut Syi’ah hadis merupakan laporan ucapan, perbuatan ataupun keputusan orang-orang suci yang terjaga dari kesalahan dan dosa (qawl al-ma’sûm aw  fi’luhu aw taqrîruhu) yaitu para imam-imam dari kalangan ‘Ahlul Bayt yang kedudukannya mereka anggap sama dengan Nabi dan diakui sebagai tempat merujuk untuk bertanya masalah agama. Intinya, Imam mempunyai peran agung dalam periwayatan hadist. Pokoknya kalau sudah kata imam semua harus diam. Atas nama imam nalar di bungkam. [hal.119-120]

Penulis juga memperkenalkan nama-nama kitab hadits Syi’ah yang muktabar beserta kandungannya. Sebagai contoh, 1). Kitab al-Kâfî (buku yang mencukupi) karangan Muhammad ibn Ya’qûb al-Kulaynî (w.329/940). Kitab ini terdiri dari 8 jilid, dan memuat lebih dari 19.000 hadits. 2). Kitab Tahzîb al-Ahkâm (saringan hukum-hukum) karangan Muhammad ibn al-Hasan Abu Ja’far at-Tusi alias Syekh at-Tâ’ifah (w. 460/1067). Kitab ini berisikan kurang lebih 13.000 hadits. 3). Kitab al-Wâfî (yang memenuhi) karangan Mullâ Muhsin alias al-Fayd al-Kâsyânî (w. 1091/1560) memuat sekitar 45.000 hadits. 4). Kitab Bihâr al-Anwâr al-jâmi’ah li-durar akhbâr al-a’immah al-athâr (Lautan cahaya yang menghimpun mutiara-mutiara riwayat para imam suci). Karangan Muhammad Bâqir al-Majlisî (w. 1110/1699). Terhimpun tak kurang dari 85.000 hadits. Dan masih ada beberapa kitab hadits lagi yang penulis kupas tuntas [hal. 120-122].

Adapun pada bab berikutnya, penulis memaparkan mengenai “Praktik Syi’ah”. Yang mana penulis mencoba memaparkan praktik-praktik sosial dan ritual yang menjadi ciri khas Syi’ah. Pertama, Taqiyyah. Kedua, Barâ’ah. Ketiga, Laknat. Keempat, ‘Asyura’ dan yang keenam, Mut’ah. Dari praktik Taqiyyah hingga Mut’ah yang diamalkan oleh pengikut Syi’ah menegaskan perbedaan jelas dengan Ahlus Sunnah. Bahwa praktik-praktik tersebut hanyalah ajaran sempalan yang mereka racik sendiri dan mereka olah sendiri. [hal. 123-138].

Bab terakhir penulis tutup dengan mengupas bagaimana perkembangan “Syi’ah di Indonesia”. Termasuk membahas bagaimana sejarah awal kedatangan, kemunculan  Syi’ah di Indonesia. Dan sebagai bab “Penutup” penulis merangkum pembahasan utamanya mengenai sejarah, aqidah, legacy serta menjawab pertanyaan, apakah orang Syi’ah itu kafir? Penulis memaparkan jawaban tersebut dengan mengutip pendapat Imam abu’l Hasan al-‘Asy’arî dalam kitab beliau Maqâlât al-Islâmiyyîn mengenai berbagai (firaq) yang berbeda keyakinan (Khawarij, Syi’ah dan sebagainya) bahwa mereka semua itu muslim. Akan tetapi perbuatan mereka telah menyimpang, salah, tersesat, maksiat dan perbuatan mereka termasuk dosa besar. Cara berfikir dan cara pandang (worldview) mereka sangat bermasalah atau dalam bahasa lain worldview mereka tidak islami, bahkan keimanan mereka boleh jadi gugur ketika mereka berkata dan meyakini bahwa Abu Bakr, Umar, Utsman  itu kafir dan tuduhan tersebut tertu berbalik kepada mereka sendiri. [hal. 139/148].  
Semoga bermanfaat. 
Wallahua’lam bisshowab

Judul Buku      : Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi’ah
Penulis             : DR. Syamsuddin Arif
Penerbit           : INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations)
Cetakan           : Pertama 1439/2018.
Tebal               : xii+204 halaman
ISBN               : 978-602-19985-8-8
Peresensi         : Sofian Hadi