Rabu, 06 Juli 2022

Menjaga Ilmu


Sofian Hadi, S.Pd,. M.Ag

Dosen Universitas Cordova, Taliwang

 

Tulisan ini dinukil dari kitab terkenal Imam Ibnu Al-Jauziy dengan judul Shaidul Khathir: Cara Manusia Cerdas Menang dalam Hidup. Menurut pengakuan Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarni, Dari buku inilah beliau terinspirasi menulis buku “Lâ Tahzan” yang menjadi best seller di beberapa negara termasuk Indonesia.

Sosok Imam Ibnu Al-Jauziy dikenal sebagai ulama cerdas. Beliau dikenal sebagai alim yang hati dan jiwanya selalu terpanggil untuk meluruskan hal yang dianggap janggal dan melenceng dari perintah al-Qur’an dan Sunnah. Ibnu Al-jauziy juga dipandang sebagai ahli dalam meracik resep-resep yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit hati. Khususnya pesan dan resep beliau kepada pemuda-pemuda Islam dalam mencari ilmu. Berikut pesan beliau khususnya kepada para pemuda dalam menjaga ilmu.

Ketahuilah, bahwa seorang pelajar mebutuhkan waktu belajar yang tidak sebentar. Adalah sebuah kekeliruan jika seseorang hanya mengulang-ngulangi apa yang telah diperolah sepanjang siang dan malam. (maksudnya tanpa mengamalkan). Orang-orang seperti itu akan berhenti pada satu proses dan tak akan dapat melanjutkan cita-cita yang lebih tinggi.

Dikisahkan, bahwa seorang dokter masuk ke dalam ruangan Abu Bakr bin al-Anburi saat kematiannya tiba. Dokter itu melihat ada seratus kitab. Lalu ia berkata, “Engkau telah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain.” Sang Dokter kemudian keluar sambil berkata “Dia tidak mengalami apa-apa!” Saat ia keluar, seseorang bertanya kepada al-Anbari “Apa sebenarnya yang engkau lakukan?” Al-Anbari berkata, “Setiap pekan aku membaca seratus ribu lembar halaman buku.”

Hendaknya, melakukan apa saja sesuai dengan kadar kemampuannya. Jika memaksakan diri diluar batas kemapuannya, niscaya ia akan menyia-nyiakan waktu tanpa ada gunanya. Hal ini seperti orang yang mempunyai nafsu makan yang tinggi. Tamak terhadap makanan secara berlebihan dapat mengakibatkan dirinya tidak dapat menikmati makanan lagi karenya penyakit yang menimpanya.

Yang benar dan bijaksana adalah selalu menyesuaikan diri dengan kadar kemampuan dan menyimpan sisa kekuatan untuk menghadapi zaman yang masih panjang. Ketekunan akan lebih bermanfaat daripada memaksakan diri terhadap sesuatu dan bertindak terlalu jauh. Betapa banyak orang yang telah meninggalkan hafalan sekian lama, tatkala mengulanginya kembali terasa sulit.

Menghafal itu ada masanya, yang paling baik adalah diusia muda. Demikain pula waktu mengulang yang paling baik adalah  saat-saat menjelang subuh atau pagi-pagi sekali. Mengulangi pelajaran dipagi buta itu lebih baik daripada di malam hari. Kemudian di waktu perut tidak penuh (kosong) lebih baik daripada perut dalam kekenyangan.

Menghafal ditempat-tempat yang rindang dan hijau serta dipinggir pantai tidak begitu baik, sebab pemandangannya banyak menyita perhatian kita dan dapat mengganggu konsentrasi. tempat-tempat yang tinggi lebih baik dari tempat yang rendah. Menyendiri juga sangat baik dalam menghafal. Dan yang paling penting dari semua itu adalah keinginan yang kuat.

Diperlukan satu hari dalam sepekan untuk menenangkan jiwa, agar hafalan melekat kuat, laksana bangunan yang dibiarkan sehari agar lurus, baru setelah itu dibangun kembali. Menghafal sedikit-sedikit namun secara terus menerus adalah sangat baik. Jangan memulai hafalan yang baru sebelaum benar-benar menguasai yang lama.

Andaikan jiwa tidak bersemangat menghafal, jangan menghafal sebab tidak akan terekam dengan baik di otak. Memperbaiki makan juga perlu karena makanan memiliki pengaruh pada hafalan. Zuhri berkata “Aku tidak pernah makan cuka sejak aku menghafal” dikatakan pulan kepada Abu Hanifah, “Dengan apakah seseorang bisa dengan bampang manghafal fqih?” Dia menjawab “Dengan keinginan yang tinggi.”

Adapun jawaban  Hammad bin Salamah adalah “Dengan sedikitnya rasa gelisah.” Mengenai hal itu Makhul berkata, “Barang siapa yang bersih pakaiannya, akan sedikit resahnya, dan barangsiapa yang selalu harum pakaiannya, kemampuan akalnya akan semakin bertambah. Dan barang siapa yang menggabungkan keduanya akan bertambah matang kepribadiannya.

Saya menyarankan kepada para penuntut ilmu pemula agar menunda nikah sebisa mungkin. Imam Ahmad bin Hanbal tidak menikah hingga berusia empat puluh tahun. Hal itu perlu dilakukan untuk mengkonsentrasikan diri. Jika mereka tak tahan, menikahlan dengan tetap berusaha sedapat mungkin untuk mencari dan menambah ilmu. Setelah itu, lihatlah ilmu apa saja yang bisa dikuasai karena umur manusia sangat berharga. Sedangkan ilmu itu sangatlah banyak.

Banyak manusia yang menghilangkan waktunya untuk memperolah berbagai ilmu yang tidak lebih utama daripada banyak ilmu lain yang semestinya mereka utamakan. Meskipun semua ilmu itu baik, namun yang paling bijak adalah mengutamakan mendahulukan yang terutama dari yang utama. Sebaik-baik ilmu yang diutmakan adalah menghafal al-Qur’an, al-Hadits, Fiqih dan selebihnya adalah pelengkap.

Barang siapa yang diberikan yang dikaruniai petunjuk oleh Allah, maka akan ditunjukkan kepadanya jalan yang benar tanpa banyak membutuhkan dalil. Barang siapa yang mengharapkan ridha Allah dengan Ilmu, pasti ia diberi petunjuk yang terbaik, sebagai Firman-Nya, “Bertakwalah kamu kepada Allah dan Allah akan mengajrmu” (al-Baqarah [2]: 282).

Senin, 04 Juli 2022

Epistemologi Ilmu dalam Islam

     

Oleh: Sofian Hadi, M.Ag

Dosen Universitas Cordova, Taliwang


Sering terjadi kekeliruan dikalangan kaum Muslim mengenai teori ilmu, atau dalam bahasa akademisnya disebut dengan “epistemologi ilmu”. Berbicara tentang ilmu, tentu tidak lepas dari epistemologi sebagai sebuah aliran dalam diskursus filsafat tentang bagaimana manusia memperolah ilmu, sumber ilmu, teori mendapatkan ilmu. 

Jika sedikit di flashback teori tentang cara mendapatkan ilmu telah dibahas tuntas oleh para ulama. Yang menjadi permasalahan adalah, munculnya teori-teori baru yang digawangi oleh para pemikir Barat sehingga ilmu yang dihasilkan bukannya mencerahkan pikiran manusia, sebaliknya membingungkan dan mengacaukan pikiran insani. Berikut ini akan dibahas bagaimanakah epistemologi ilmu dalam pandangan Islam, berikut elaborasinya.

Tentang epistemologi ilmu, beberapa genre buku terkait isu epistemologi ilmu telah banyak dikupas. Salah satu buku suntingan Ismail al-‘Alam yang berjudul Nafi, Isbat dan Kalam karangan Dr. Ugi Suharto. Dengan bernas Dr. Ugi menjabarkan mengenai epistemologi ilmu dan beberapa kekacauan serius yang timbul dikalangan umat Islam.

Di dalam buku al-Aqaid an-Nasafiyah, salah satu buku aqidah yang menjadi rujukan ahlus-sunnah wal jama’ah. Buku ini membicarakan tentang epistemologi, sebagaimana telah marak diperbincangkan dalam kajian kontemporer. Sebagai sebuah fakta menurut Dr. Ugi, misalnya argumentasi “Al-Haqâiq al-Asya’ tsâbitun wal ‘ilm bihâ mutahaqqiqun khilafan lî ash-syufastaiyyah” (Hakikat sesuatu adalah tsabit. Dan pengetahuan kita tentang hakikat tadi adalah benar, berbeda dengan para sophist). Pernyataan ini merupakan pembahasan tentang epistemologi.

Lebih lanjut, Dosen IIUM ini menambahkan persoalan bagaimana cara dan sebab manusia menerima ilmu kemudian dari sumber mana ilmu itu diperoleh. Pertama, melalui panca idera yang lima. Kedua, melaui al-aqlussalîm (akal yang sehat). Ketiga, melalui khabar shadîq (berita yang benar). Dari ketiga cara inilah manusia memperoleh ilmu. Dalam bahasa kekinian disebut sebagai sumber empiris, sumber rasional dan sumber otoritas

Karenanya, manusia dapat mendapatkan ilmu dengan cara melihat, berpikir dan menerima berita. Dapat juga dikatakan tiga sumber. Pertama sumber inderawi. Kedua sumber aqli dan ketiga sumber yang bersifat khabari. Penglihatan adalah lambang panca inderawi dan pendengaran adalah lambang dari khabar shadiq dan akal pikiran adalah lambang dari akal yang sehat. Dengan ini jelas bahwa dari ketiga sumber inilah ilmu diperoleh.[1]

Wallahua’lam bis showab



[1] Dr. ugi Suharto, Nafi, Isbat dan Kalam: Bunga Rampai Postulat Pemikiran Islam. Penyunting, Islamil Al-‘Alam, (Bandung: Pimpin dan Yogyakarta: Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara, 2022), 184-186