Kamis, 26 Maret 2020

Resensi Buku "Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi’ah"

Oleh: Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida) Gontor


Berikut ini saya berkesempatan kembali meresensi sebuah buku karangan Dr. Syamsuddin Arif yang juga berstatus sebagai dosen saya di Unida Gontor yang mengampu mata kuliah ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’. Walaupun tidak berkaitan dengan mata kuliah yang beliau ajarkan, Dr. Syamsudddin Arif tidak lantas minim pengetahuan tentang ilmu diluar kepakaran baliau. Buku ini adalah jaminannya. Pembahasan mendalam yang bernas nan cerdas dengan merujuk kepada kepada referensi primer dari para pentolan Syi’ah cukup membuat para pembaca kagum dengan keluasan ilmu yang beliau miliki.

Buku ini lugas, sarat dan padat. Yang akan menuntun pembacanya untuk terus membaca pelan hingga terkadang membalik ulang kertas halaman, tersebab tidak ingin terjebak dalam kealpaan ‘istilah-istilah’ yang dianggap rumit namun tetap masih bisa dicera otak. Jika melihat keotentikan referensi yang di rujuk beliau boleh dikatakan pakar mengenai penganut Syi’ah ini. Buku sangat recommended bagi para mahasiswa, akademisi maupun masyarakat awam. Ataupun  yang penasaran dengan Syi’ah, terkhusus bagi umat Islam yang tidak ingin terjangkiti virus ajaran Syi’ah. 
Selamat membaca!  

Sejauh penelitian yang berkembang dalam sejarah dan penjelasan para ulama, terdapat tiga macam syi’ah yang dipaparkan oleh Dr. Syamsuddin Arif penulis buku ini. Para pengkaji Syi’ah belum dapat membedah ketiga macam syi’ah. Pertama, Syi’ah terminologis; kedua Syi’ah politis; dan ketiga Syi’ah ideologis. Jika digambar polanya seperti tanda panah di bawah ini’
Penulis memaparkan makna Syi’ah terminologis secara bahasa dalam arti umum menurut kamus, atau secara harfiah yang asalnya bermakna kelompok, pengikut, pembela. Dalam pengertian ini, penulis menyentil Nusron Wahid misalnya sebagai "Syi'ah Ahok" yaitu Syi'ah secara terminologis karena, Nusron merupakan salah seorang pembela atau pengikut Ahok. Penjelasan mengenai makna, arti dan terminologi ‘Syi’ah’ ini dibahas dengan panjang lebar pada hal. 11 dengan sub judul “Persoalan Istilah”. Selanjutnya, Syi’ah politis merupakan syi’ah dalam arti khusus, merujuk kepada kata yang dipakai untuk menyebut para sahabat yang mendukung, berpihak kepada, dan yang setia berjuang bersama Sayyidina ‘Ali pada masa konflik pasca wafatnya Khalifah ‘Utsman bin Affan.

Adapun yang ketiga, Syi’ah ideologis yang dijelaskan oleh penulis adalah syi’ah dengan makna dan arti tersendiri yang masuk dalam ranah keyakinan (‘aqidah atau i’tiqad), pola pikir (mindset), kerangka berfikir (intellectual  framework) hingga kepada cara pandangan terhadap dunia (worldview), yang pada akhirnya akan membentuk sikap, mempengaruhi tingkah laku serta menetapkan dan menentukan bentuk penerimaan dan penolakan orang terhadap suatu informasi, memberikan bentuk pemahaman, mewarnai penafsirannya terhadap fakta, realita dan peristiwa. Dalam kalimat lain, penulis mengatakan bahwa syi’ah ideolgis ini merupakan gerakan sempalan yang muncul belakangan sekitar dua ratus tahun pasca wafatnya Rasulullah Saw. [hal. 15-16].

Mengenai Syi’ah ideologis penulis buku ini melanjutkan penjelasannya dengan membagi Syi’ah ideologis ke dalam tiga varian. Pertama proto-Syi’ah [syi’ah tafdil]. Kedua [syyi’ah Rafidah], ketiga, [syi’ah ghuluww]. Jenis Syi’ah tafdil, hanya sekedar atau menganggap Sayyidina ‘Ali sebagai orang unggul, hebat sekaligus istimewa [afdal] dibandingkan dengan para sahabat Rasulullah yang lain. Hal ini tanpa disertai dengan pengingkaran, penolakan, pelecehan atau kutukan terhadap ketiga khalifah sebelum Sayyidina’Ali yaitu (Abu Bakar Sidiq, Umar Bin Khattab dan Ustman Bib Affan) begitupun terhadap sahabat Rasulullah Saw. [hal. 39].

Syi’ah rafd/rafidah kelompok yang menyatakan pendapat bahwa  Sayyidina ‘Ali adalah satu-satunya orang yang paling berhak menjadi pemimpin umat sesudah Rasulullah wafat. Oleh karenanya kelompok ini menafikan kekhalifahan sebelumnya tidak sah. Maka golongan ini dijuluki al-firqah al-rafidah alias al-Rawafid. Sebutan rafidi dan rafidah yang disematkan kepada orang syi’ah memang sudah lumrah digunakan sejak abad kedua Hijrah. Jika dilihat dari perspektif awam, syi’ah jenis ini (rafidah) masyhur atau popular sebab banyak ulama ahlus sunnah sering menggunakan istilah rafidah dalam ceramah dan dakwah mereka. Hingga Imam Malik dan Imam as-Syafi’i menyebut Syi’ah idelogis itu rafidah. Keyakinan mereka mengenai penunjukan Sayyidina ‘Ali dan Imam sesudahnya secara tegas (bi’n-nass) yakni tidak melalui musyawarah atau pemilihan. Maka kelompok Syi’ah ini juga dikenal dengan sebutan Syi’ah Imamiyyah. Adapun kelompok Syi’ah imamiyyah ini juga pecah menjadi beberapa aliran. Rincian mengenai aliran ini silakan lihat [hal 40-43]. 

Yang ketiga yaitu Syi’ah ghuluww atau ‘Ghulat’ yaitu kelompok yang mempunyai kepercayaan aneh, pelik atau rumit yang cenderung kufur dan syirik. Mereka lebih percaya Sayyidina ‘Ali itu Tuhan yang berwujud manusia (‘ala sûrat al-insân) dan percaya Tuhan itu dapat bersemayam di dalam tubuh seseorang (yahullu fi ‘l-asykhâs). Menurut aliran ini juga yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan itu Nabi Muhammad, bahwa Ruh Suci itu ialah Tuhan yang mulanya berada pada diri Nabi lantas berpindah ke ‘Alî dan imam-imam sesudahnya. Ruh manusia itu berpindah-pindah dengan bertukar jasad, hingga orang mati dapat hidup kembali, namun ‘Alî dan imam-imam sesudahnya tidak mati sebab akan datang lagi di akhir Zaman untuk memenuhi dunia dengan keadilan. [hal. 43-44].

Menyelami bab berikutnya, penulis dengan keluasan cakrawala pengetahuannya menjelaskan tentangi Syi’ah Takfîrî dan Taqdîsî. Kedua jenis Syi’ah ini masing-masing tidak hanya menolak legitimasi para khalifah selain Sayyidina ‘Ali, sebaliknya menganggap semua sahabat mentang ‘Ali dan tidak mengimami sesudah itu adalah kafir. Bagi kelompok ini juga Sayyidina ‘Ali juga dikuduskan atau disucikan. Yang termasuk dalam kelompok ini orang Syi’ah Imamiyah seperti al-Kulaynî, al-Mufîd, al-Majlisî, al-Khomeini dan para pengikutnya. Syi’ah Imamiyyah itu menganggap para sahabat Nabi kafir dan murtad. Dan secara umum, bagi para penganut Syi’ah, imam adalah penerus nabi. Dan kedudukan Imam sama seperti nabi, sebagai bukti (hujjah) atas keadilan Tuhan kepada manusia di muka bumi. [hal. 47].

Pada bab sepuluh, penulis lebih fokus menjelaskan bagaiman pertumbuhan dan perkembangan doktrin-doktrin Syi’ah dari pertama kemunculan hingga kondisi terkini, yang diulas dalam sub-tema yang diberi judul “Evolusi dan Inovasi Doktrin” Penulis menampilkan peta kronologis doktrin Syi’ah dari abad pertama hingga abad ke lima belas. [hal. 58-73].

Salah satu hal terpenting daripada penganut Syi’ah adalah “Aqidah” yang mereka yakini. Kenapa hal tersebut dipandang sangat penting, sebab ‘Aqidah kelompok Syi’ah bertentangan jauh dari ‘Aqidah Ahlus Sunnah. Aqidah artinya simpulan. Jamaknya ‘aqâ’id. Yang maksudnya adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan. Istilah lainnya adalah i’tiqâdât. Terdapat beberapa perbedaan  serius antara ‘Aqidah Syi’ah dan ‘Aqidah Ahlus Sunnah. Penulis lantas menjelaskan satu demi satu bentuk aqidah mereka. Diantaranya, Bada’, Wasiat, Nass, Sahabat, Ghaybah, Raj’ah, Mahdi dan Non-Syi’ah. Semua dengan gamblang dijelaskan dalam sub-bab dengan judul “Aqidah Syi’ah” [hal. 76-108].

Memasuki bab dua belas, penulis memaparkan “Tafsir Syi’ah” mengenai penanfsiran penganut Syi’ah terhadap al-Qur’an yang cenderung manipulatif dan distortif. Kelompok Syi’ah dengan sangaja merubah ayat-ayat Qur’antuk membenarkan kepercayaan mereka dengan melompati makza zahir daripada Qur’an, kemudian memberikan makna sesuai kehendak mereka. Seperti ayat 85 Surah al-Qasas. Yang artinya (Sesungguhnya Dia yang mewajibkan engkau untuk melaksanakan al-Qur’an benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali). Ayat ini ditafsirkan oleh orang Syi’ah sebagai dalil raj’ah, yaitu kembalinya Nabi atau Imam ke dunia setelah mereka mati. Terdapat beberapa lagi penansiran mereka yang ‘nyeleneh’ dapat dibaca pada [hal. 109-118].

Pada bab setelahnya, penulis menalarkan mengenai “Hadits Syi’ah” yang mana menurut Syi’ah hadis merupakan laporan ucapan, perbuatan ataupun keputusan orang-orang suci yang terjaga dari kesalahan dan dosa (qawl al-ma’sûm aw  fi’luhu aw taqrîruhu) yaitu para imam-imam dari kalangan ‘Ahlul Bayt yang kedudukannya mereka anggap sama dengan Nabi dan diakui sebagai tempat merujuk untuk bertanya masalah agama. Intinya, Imam mempunyai peran agung dalam periwayatan hadist. Pokoknya kalau sudah kata imam semua harus diam. Atas nama imam nalar di bungkam. [hal.119-120]

Penulis juga memperkenalkan nama-nama kitab hadits Syi’ah yang muktabar beserta kandungannya. Sebagai contoh, 1). Kitab al-Kâfî (buku yang mencukupi) karangan Muhammad ibn Ya’qûb al-Kulaynî (w.329/940). Kitab ini terdiri dari 8 jilid, dan memuat lebih dari 19.000 hadits. 2). Kitab Tahzîb al-Ahkâm (saringan hukum-hukum) karangan Muhammad ibn al-Hasan Abu Ja’far at-Tusi alias Syekh at-Tâ’ifah (w. 460/1067). Kitab ini berisikan kurang lebih 13.000 hadits. 3). Kitab al-Wâfî (yang memenuhi) karangan Mullâ Muhsin alias al-Fayd al-Kâsyânî (w. 1091/1560) memuat sekitar 45.000 hadits. 4). Kitab Bihâr al-Anwâr al-jâmi’ah li-durar akhbâr al-a’immah al-athâr (Lautan cahaya yang menghimpun mutiara-mutiara riwayat para imam suci). Karangan Muhammad Bâqir al-Majlisî (w. 1110/1699). Terhimpun tak kurang dari 85.000 hadits. Dan masih ada beberapa kitab hadits lagi yang penulis kupas tuntas [hal. 120-122].

Adapun pada bab berikutnya, penulis memaparkan mengenai “Praktik Syi’ah”. Yang mana penulis mencoba memaparkan praktik-praktik sosial dan ritual yang menjadi ciri khas Syi’ah. Pertama, Taqiyyah. Kedua, Barâ’ah. Ketiga, Laknat. Keempat, ‘Asyura’ dan yang keenam, Mut’ah. Dari praktik Taqiyyah hingga Mut’ah yang diamalkan oleh pengikut Syi’ah menegaskan perbedaan jelas dengan Ahlus Sunnah. Bahwa praktik-praktik tersebut hanyalah ajaran sempalan yang mereka racik sendiri dan mereka olah sendiri. [hal. 123-138].

Bab terakhir penulis tutup dengan mengupas bagaimana perkembangan “Syi’ah di Indonesia”. Termasuk membahas bagaimana sejarah awal kedatangan, kemunculan  Syi’ah di Indonesia. Dan sebagai bab “Penutup” penulis merangkum pembahasan utamanya mengenai sejarah, aqidah, legacy serta menjawab pertanyaan, apakah orang Syi’ah itu kafir? Penulis memaparkan jawaban tersebut dengan mengutip pendapat Imam abu’l Hasan al-‘Asy’arî dalam kitab beliau Maqâlât al-Islâmiyyîn mengenai berbagai (firaq) yang berbeda keyakinan (Khawarij, Syi’ah dan sebagainya) bahwa mereka semua itu muslim. Akan tetapi perbuatan mereka telah menyimpang, salah, tersesat, maksiat dan perbuatan mereka termasuk dosa besar. Cara berfikir dan cara pandang (worldview) mereka sangat bermasalah atau dalam bahasa lain worldview mereka tidak islami, bahkan keimanan mereka boleh jadi gugur ketika mereka berkata dan meyakini bahwa Abu Bakr, Umar, Utsman  itu kafir dan tuduhan tersebut tertu berbalik kepada mereka sendiri. [hal. 139/148].  
Semoga bermanfaat. 
Wallahua’lam bisshowab

Judul Buku      : Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi’ah
Penulis             : DR. Syamsuddin Arif
Penerbit           : INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations)
Cetakan           : Pertama 1439/2018.
Tebal               : xii+204 halaman
ISBN               : 978-602-19985-8-8
Peresensi         : Sofian Hadi
      

Jumat, 07 Februari 2020

Meretas Nalar Kedaulatan (Catatan Opini untuk Negeri)

Sumber photo dari internet

 

Oleh: Sofian Hadi

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam (Unida ) Gontor

 

 وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ


وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

Referensi: https://tafsirweb.com/9674-surat-muhammad-ayat-38.html

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

Referensi: https://tafsirweb.com/9674-surat-muhammad-ayat-38.html

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

Referensi: https://tafsirweb.com/9674-surat-muhammad-ayat-38.html

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

Referensi: https://tafsirweb.com/9674-surat-muhammad-ayat-38.html

Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.

Begitulah bunyi firman Allah dalam al-Qur’an pada bagian akhir dari surat Muhammad ayat tiga puluh delapan. Penggalan ayat ini merupakan sebuah ta’kid yang secara etimologinya mengandung arti sebagai penguat. Sebab dalam kaidah bahasa arab, suatu informasi yang disampaikan perlu diberikan ta’kid supaya orang yang menerima informasi tersebut tidak ragu bahkan ingkar kepada ayat yang diwahyukan Allah kepada utusan-Nya baginda  Muhammad Saw. Petikan terakhir dari ayat diatas merupakan fakta nyata berapa banyak golongan yang berpaling dari syari’at dan hukum Islam, mereka akhirnya digantikan dengan kaum lain, kaum yang boleh jadi lebih buruk perangainya dari kaum sebelumnya. Semoga ulasan yang akan dipaparkan berikut mampu membuka cakrawala pengetahuan kita dalam melihat realitas kedaulatan nasip republik yang kita cintai.

Seiring waktu berjalan, pasca proklamsi kemerdekaan tujuh puluh empat tahun silam, jargon pembelaan kedaulatan pertiwi terus dikumandangkan. Semangat optimisme tak hentinya digelorakan. Semua berdalih merebut start terbaik untuk berada di garda terdepan dalam membela kedaulatan dan tegaknya keadilan di negeri ini. Begitulah selayaknya jiwa pejuang, harus rela berkorban demi tegaknya kedaulatan. Kedaulatan yang telah direbut dengan darah dan nyawa, dengan resolusi dan strategi, dengan jihad dan semangat. Hingga pada akhirnya membuahkan hasil yang tidak sia-sia, yaitu merengkuh kedaulatan pertiwi dari tangan kolonial.

Pasca keberhasilan memperjuangkan kedaulatan negara, yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan yang gegap gempita dan bersumbu api gelora, tantangan baru sebaliknya mulai bermunculan. Gerakan ideologi yang ingin meretas kedaulatan nusantara tumbuh dengan semangat berbeda. Semangat yang tak kalah gemuruh dari semangat proklamasi. Ideologi ini mulai unjuk taring dengan terang-terangan memunculkan teror dipenjuru negeri. Bahkan, karena kepiawaian pemimpinya, negera sempat mengakui ideologi ini untuk berpartisipasi dalam kancah perpolitikan. Bukan tanpa alasan dan dasar yang jelas mereka bertindak, tujuan dan visi-misi mereka bahkan lebih jelas dari lambang Garuda sebagai jaron negara. Tiga kali upaya meretas nalar kedaulatan pertiwi mereka lakukan dimulai tahun 1926, 1948 hingga tahun 1968.

Jika pembaca ingin mengetahui kebengisan ideologi ini, silakah membaca buku yang ditulis oleh Anab Afifi dan Thowaf Zuharon mengenai upaya busuknya nalar berfikir dan bertindak kelompok atau ideologi ini. Betapa begis dan sadis para penggugat kedaulatan itu memamerkan kedurjanaan mereka, tanpa sedikitpun gentar melanggar,nwalau bertentangan dengan pedoman kitab suci. Jika boleh jujur, siapapun pasti tidak akan kuat untuk membaca habis buku itu, fakta sejarah yang telah mereka pertontonkan tak ubahnya adengan thriller yang mereka sutradarai sendiri. Sungguh tak ber-prikemanusiaan. 

   أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ

Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. (Al-‘Araf 179)

Mungkin itulah gelar yang pantas disematkan kepada para pengusung ideologi ini (Binatang ternak, sesat bahkan lebih sesat lagi) yang telah membantai puluhan juta manusia dipenjuru dunia; Rusia, Cina, Kamboja, Eropa Timur, Amerika Latin, Afrika, Afganistan hingga di bumi pertiwi. Padahal mereka mempunyai hati namun keras bak batu-batu cadas, sombong, angkuh dalam memahami ayat-ayat Allah. Padahal mereka mempunyai mata namun, mata mereka tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka mempunya telinga  tetapi tidak dipakai untuk mendengar ayat-ayat Allah. Sungguh merugi dan celakalah mereka.

Seperti itulah fitrah manusia manusia, jika hatinya telah keras, kebenaran apapun tidak mempan menembus. Segala bentuk perbuatan yang dilakukannya merupakan refleksi isi kepala dan hati mereka yang kotor. Tindak-tanduk mereka yang brutal kepada penentang ideologi yang mereka anut merupakan bukti nyata sifat kebinatangan mereka, bahkan lebih rendah dari binatang itu sendiri. Cukuplah negeri ini menangis menyaksikan kebiadaban dan kebengisan para penganut ideologi sesat ini. Cukuplah derita nyawa yang dipaksa putus dari raganya. Betapa hina-dina manusia-manusia yang berdiri dibarisan dan doktrin mereka. Maka ketahuilah bahwa setiap perbuatan mereka akan dibalas dengan balasan setimpal.

Begitulah sejarah hitam negeri ini. Sejarah darah dan air mata. Kelam. Pahit, jika diurai terlalu dalam. Sungguh berat beban yang digandar ibu pertiwi. Beban penjajahan, peperangan dan beban penghianatan tak selayaknya dipikul sendiri. Beban yang harus digenggam oleh jiwa yang patri bukan oposisi tirani. Jiwa yang tidak akan rela kedaulatan tanah pertiwi kembali diinjak-injak oleh jiwa-jiwa kolonial dan ideologi bengis mereka. Tinggal sekarang, bagaimana usaha mengembalikan kedaulatan negeri. Merawat kemudian menanamkan sikap patriot pada jiwa yang apatis akan nilai-nilai kedaulatan yang selama ini semakin terkikis. Nilai kedaulatan yang terus tergerus arus zaman yang lambat laun menjebak manusia kejurang kehancuran.

Kita tinggalkan sejenak pengembaraan sejarah masa lalu, mari kita diskusikan beberapa poin penting tentang kondisi kekinian negeri ini. Terlalu banyak masalah primordial yang muncul mendera tanah nusantara belakangan ini. Carut-marut ‘penjaga dan pembela baru' negeri ini bermunculan ke permukaan dengan tendensi dan dalih memperjuangkan, mempertahankan serta membela kedaulatan negeri. Entahlah,, terlepas dari berjubelnya pemahaman aliansi, ormas, peguyuban dan sejenisnya. Namun, bukannya semakin memperkokoh fondasi bumi pertiwi sebaliknya, terkesan memecah belah kesatuan dan persatuan kedaulatan tersebut.

Hingga dalam satu dasawarsa, isu kedaulatan negeri kaya-raya ini hangat diperbincangkan. Di satu sisi klaim menjaga keutuhan tanah pusaka gencar disuarakan oleh sebagian kelompok. Mereka berkilah Negara Kesatuan adalah harga mati, pancasila adalah final. Sekiranya, ada yang mencoba mengusik konsensus tersebut, oleh kelompok ini, tidak akan dibiarkan gentanyangan dan berkeliaran. Bagi mereka bibit-bibit yang melenceng dari nilai pancasila dan negera kesatuan tidak boleh tumbuh. Sekalipun, kelompok lain yang dituduh anti pancasila juga paham, bahkan lebih mengerti definisi dari negara kesatuan harga mati atau pancasila adalah final. Akan tetapi, inilah realita penduduk negeri ini, mereka seringkali kebablasan dan taklid berlebihan kepada ormas dan kelompoknya. Mungkin golongan inilah yang disinyalir dalam Qur’an surah Rum ayat 32.

  كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.

Walhasil, klaim sepihak kelompok pembela negara kesatuan atau pembela pancasila dengan golongan yang dituduh ‘anti’ pancasila lambat-laun menimbulkan gesekan serius. Saling provokasi dan persekusi tak bisa dielakkan. Bentrok halus di dunia maya hingga dunia nyata pun tak dapat didamaikan. Tudingan Saracen, hoax, rasis, anti bumi pertiwi, anti pancasila, wahabi, radikal, khilafah, MAKAR dan sebagainya mencuat kepermukaan hingga menjadi isu renyah yang terus digoreng dan siap saji. Pada dasarnya isu-isu tersebut merupakan isu tunggangan yang dipakai untuk memarginalkan kedaulatan negeri dan Islam. Anehnya, para pemangku tertinggi negara ini memilih merespon serius isu remeh-temeh tersebut sebaliknya, melalaikan isu ‘substansial’ yang menunggangi perkara itu. Terkesan solah-olah negeri ini dalam situasi genting dan berbahaya. Akibat ketidakmampuan para elite bumi pertiwi dalam menangani kasus-kasus tersebut, menciptakan kondisi semakin hari semakin chaos, masalah demi masalah bertubi-tubi menghantam dan menggrogoti tubuh negeri ini.

Apa yang dikhawatirkan oleh rakyat pribumi hanyalah jika peristiwa masa silam mencuat dengan kamuflase baru yang terus memburu. Yang akan mengadu domba sesama warga. Sebagai warga pribumi, bukan ingin menggugat namun berhak mengingatkan para elite penguasa negeri ini agar serius memecahkan masalah dan isu perpecahan di tengah kecamuk perpolitikan. Warga pribumi tidak rela jika chaos merajalela lantas menikam jantung Negeri. Kemudian membelenggu, menjerat dan meretas sayap Garuda dengan palu dan arit mereka, hingga pada akhirnya menyeret kedulatan negeri ini menuju dasar kehinaan dan mertabat randah terkoya-koyak. Sungguh pun semua itu tidak diinginkan. Namun, warga pribumi ingin agar  ke lima 'sila' di dada Garuda di tegakkan. 

Jangan terlalu fobia dan paranoid dengan sila pertama. "Ketuhanan yang Maha Esa". Sila yang selama ini di marginalkan nilai dan hakekat-nya dari  jiwa warga Indonesia. Padahal, Sila inilah yang melahirkan semangat perjuangan warga Indonesia. Pembelaan terhadap agama, akidah dan ideologi jernih, yang jauh dari nilai kesyirikan. Pengusiran penjajah, peperangan yang berkecamuk, pembelaan atas hak-hak negara, perjuangan dan seruan 'jihad' lahir tersebab pembelaan terhadap nilai Sila Pertama. Bagi siapapun berniat mengusik nilai  sila pertama negara ini, jangan heran anda akan di cap sebagai 'kolonialisme' baru dan siap akan diperangi. Oleh karena sila pertama inilah Bangsa dan Negara ini berdiri kokoh.  

Kepada elit negeri, tegakkanlah hukum yang seadil-adilnya. Bela dan perjuangkanlah hak-hak warga kecil yang dirampas ladang sawahnya. Perlakukan warga-mu sama di depan hukum. Jangan tebang pilih. jangan pandang bulu. Bantulah anak-anak desa yang terpasung kelaparan. Penduduk miskin yang hidup dan dilupakan. Jiwa kemanusiaan haruslah berbanding lurus dengan jiwa keadilan. Jika kalian para elite negeri mampu lakukan itu, derajat 'adab' kalian tentu lebih tinggi. Maka bela dan perjuangkanlah hak-hak warga-mu, disanalah kalian akan menemukan kandungan sila kedua. “Kemanusaiaan yang adil dan beradab”. Apa yang dibutuhkan oleh warga kecil, penduduk pinggiran, para pengemis jalanan adalah 'keadailan'. Keadailan yang dalam arti menempatkan hak-hak mereka sesuai pada tempatnya.

Jangan tanyakan kepada kami makna sila ketiga, karena itulah sesungguhnya harapan dan cita-cita kami sebagai penghuni pertiwi. Kami tidak akan rela membiarkan tanah pertiwi berjuang sendiri. Kami tidak rela Garuda terbang dengan sayap patah. Kami ingin bilangan 34 yang melekat erat di tubuhmu, lantas engkau ajak terbang membubung tinggi di udara. Itulah komitmen kami bersamamu wahai Garuda dan negeri tercinta. Akan tetapi, kami tidak habis pikir, tanah pertiwi dewasa ini ditumbuhi pohon-pohon ‘asing’ dengan duri-duri tajam nan-beracun. Bulu Garuda dihinggapi kutu-kutu ‘busuk’ hingga nyaris saja merontokkan sehelai demi sehalai rambut indahnya. Entah siapakah yang menanam dan menyiram pohon ‘asing’ itu? Dan siapakah yang menabur kutu di rambutmu wahai Garuda? Entahlah. Disinilah hilangnya sila keempat dan sila kelima dari dada Garuda, dan tidak ada yang tahu siapa yang mencurinya. Mungkinkah pencurinya, mereka yang sedang sibuk memasang kembali dasi barunya dengan proyek dan tender besar mereka? Entahlah..

Setelah mengurai fakta sejarah dan fakta kekinian mengenai nalar kedaulatan pertiwi, sampailah pada akhir kesimpulan. Bahwasanya, siapaun yang memimpin negeri ini, jangan sampai berpaling dari menegakkan kedaulatan negara dan agama, sebab jika hal ini diabaikan, maka bersiaplah rakyat pribumi dan ummat akan ditindas oleh rezim yang kejam dan zalim lagi lalim. Semoga keadilan dan kedaulatan ditegakkan. Agar tidak menjadi pelajaran seperti kaum yang disindir pada ayat pertama di atas. Yaitu dipimpin oleh kaum yang lebih baruk dari kaum sebelumnya.

Wallahu‘alam bisshowab