Rabu, 02 November 2022

Menuju Kesempurnaan Ibadah


Oleh:Fadhil Sofian Hadi, S.Pd.,M.Ag
Dosen Universitas Cordova, Taliwang

 

Di dalam pembukaan buku Minhajul Abidîn, Imam Abu Hamid al-Ghazali menyusun 7 (tujuh) tahap seorang mu’min menuju puncak kesempurnaan ibadah. Ke 7 (tujuh) tahap ini adalah sebuah ilham yang diberikan Allah Imam al-Ghazali. Adapun ke tujuh jalan tersebut adalah;


1.      Tahapan ilmu

2.      Tahapan taubat

3.      Tahapan penghalang

4.      Tahapan rintangan

5.      Tahapan pendorong/motivasi

6.      Tahapan perusak  dan pencemar ibadah

7.      Tahapan pujian dan syukur


Ketujuh tahap tersebut merupakan jalan atau tingkat (hirarki) menuju kepada derajat kesempuarnaan ibadah. Berikut akan diuraikan tahapan pertama dari jalan kesempurnaan tersebut. Adapun keenam tahap lainnya akan dijelaskan dalam waktu yang berbeda.

Tahapan Ilmu

Semoga taufik Allah Swt. tercurah kepada kita semua.


Wahai para pencari keikhlasan, yang ingin mencapai kesempurnaan ibadah, hal pertama yang harus kau miliki adalah ilmu. Sebab ilmu menjadi pusat segala hal. Perlu diketahui pula bahwa ilmu dan ibadah laksana sepasang permata. Dan dua hal itu bisa kau lihat  pada karya-karya para penulis, ajaran para  guru, nasihatnya para penasihat dan penelitiannya para peneliti. Karena keduanyalah, kitab-kitab samawi dirurunkan dan para rasul diutus. Bahkan, karena keduanyalah langit dan bumi ini diciptakan. Mari renungkan ayat yang mulia ini.


Firman Allah yang pertama;

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Talâq [65] ayat 12)

 

Ayat ini cukup menjadi bukti atas kemuliaan ilmu. Khusunya ilmu tauhid.


Firman kedua Allah berbunyi;

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

    Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS.                 Dzâriyât [51] ayat 56).

Ayat ini cukup menjadi bukti atas kemuliaan ibadah dan kewajiban setiap makhluk untuk melaksanakannya. 


Maka agungkanlah dua hal ini (ilmu dan ibadah) karena keduanya adalah tujuan dari penciptaan dua kehidupan.[1] Telah menjadi keharusan bagi seorang hamba untuk tidak disibukkan dan dibebani oleh segala hal selain keduanya. Tidak layak beginya untuk berfikir, kecuali hanya berpikir tentang keduanya.


Ketahuilah, bahwa segala perkara selain ilmu dan ibadah adalah batil dan tidak mengandung kebaikan sedikitpun. Dan juga merupakan sebuah kesia-siaan dan tidak memiliki manfaat sama sekali.[2] Jika engkau telah mengetahui hal tersebut , maka engkau harus tahu bahwa diantara kedua permata itu, ilmu menjadi perkara yang paling mulia dan paling utama (dibadingkan ibadah).


Karena itu Rasulullah Saw. bersabda; “Sesungguhnya perumpamaan keutamaan orang alim (berilmu) atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang-rang yang paling rendah dari umatku.”[3]


Di dalam hadits lain Rasulullah Saw. bersabda; “Sekali melihat wajah orang alim, lebih aku sukai daripada wajah orang yang beribadah selama setahun dengan puasa di siang hari dan shalat di malam harinya.”[4] Rasulullah juga pernah bersabda “Maukah kalian aku beri tahu siapa yang paling mulia diantara penghuni syurga?” Para sahabat menjawab “Tentu wahai Rasulullah” kemudian Rasulullah bersabda “mereka adalah para ulama dari kalangan umatku”[5]


Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa ilmu merupakan permata yang paling utama daripada ibadah. Oleh karena itu, seorang hamba harus beribadah dengan ilmu yang dimilikinya. Jika tidak, ilmunya bagai debu yang tertiup angin.


Sebab ilmu laksana pohon, sementara ibadah laksana salah satu buah dari banyak buah. Kemuliaan  memenga menjadi milik pohon, karena dialah yang menjadi pokok pangkalnya. Akan tetapi, manfaatnya hanya hanya dapat terwujud dengan adanya buah yang dihasilkan. Ibadah harus dilakukan agar kemuliaan ilmu terjaga. Dengan demikian seorang hamba harus memiliki keduanya, Ilmu dan Ibadah. (Bersambung…)


Disarikan dari buku "Minhajul Abidîn" karya terakhir Imam al-Ghazali, terjemahan Fuad Syaifudin Nur diterbitkan oleh Turos Pustaka. Cet.ke 2, Maret 2021. Hal. 38-40  

Semoga bermanfat.

Wallhu’alam Bisshowâb



[1] Kehidupan dunia dan kehiduoan akherat.

[2] Maksud Imam al-Ghazali adalah semua hal selain ilmu dan ibadah di dunia ini adalah hal yang remeh dan tidak penting. Namun, hal-hal tersebut akan terangkat nilainya jika dibubuhi dengan dengan nilai-nilai ilmu dan ibadah.

[3] (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1/80) bab fadhl al-‘Ulama. Hadits nomor 223. Juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzî dari Abu Umâmah dengan sanad marfu’ (shahih).  

[4] (Dicantumakan dalam kitab Kasf alKhafâ’ (2/421) sebagai komentar untuk hadits nomor 2811, juga dicantumkan dalam kitab Dhâ’if al-Jami’ ash-Syaghîr wa Ziyâdâtuhu dengan sanad dhaif (6/14) (lemah).

[5] (Diriwayatkan oleh as-Suyûthî dalam al-jami’ ash-Shaghîr hadits nomor  2875 dengan sanad dhaif.)

Sabtu, 20 Agustus 2022

Tentang Masa Depan Islam

Oleh: Sofian Hadi, S.Pd., M.Ag

Penyuluh Agama Islam kemenag KSB

 

 

Bagaimana pendapat Anda tentang masa depan Islam? Kurang lebih demikian pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Muhammad al-Ghazali.[1] Pertanyaan tersebut secara generik merupakan represantasi penanya lain yang terpendam. Sebagai seorang pemikir, ulama dan intelektual Muslim Syaikh al-Ghazali menjabarkan jawaban beliau dengan berpijak pada realitas yang terjadi di dunia Islam pada masa sekarang.

Beliau kemudian mejelaskan masa depan kaum Muslim saat ini penuh dengan cobaan menyesakkan dada, bahkan tidak jarang menimbulkan rasa putus asa. Akan tetapi, Saya yakin bahwa cobaan ini akan sirna, seperti pernah sirnanya cobaan di masa lalu. Hanya saja, sirnanya berbagai cobaan ini tidak seperti sirnanya awan; kita menunggu tanpa berbuat apa-apa.

Semua orang harus bekerja dengan sungguh-sungguh, seperti yang saya katakan pada tema berbeda bahwa kaum Muslim harus memeluk Islam dengan keyakinan, akhlak, semangat bekerja dan penuh pikiran/gagasan. Adapun jika kaum Muslim jika menghadapinya tidak sesuai dengan yang disebutkan di atas, maka mustahil kaum Muslim memeroleh kebaikan.

Kehancuran jiwa dan akal telah menyebabkan kaum Muslim menderita kelumpuhan sedemikian parah yang tidak pernah di derita umat lain. Hal ini yang menyebabkan dakwah mereka terhambat, bahkan dapat dikatakan berhenti secara total. Saya melihat bahwa bencana ini bukan semata-mata akibat kebodohan kita, akan tetapi disebabkan oleh kebodohan sebagian pemimpin kita kemudian terpisahnya ilmu  dari pemerintah di sebagian besar negara Islam.

Kelemahan yang menimpa tubuh kaum Muslim membuat kepala mereka sakit dan meyempitkan pandangan mereka hanya pada tanah tempat kaki mereka berpijak. Setelah negara Islam dikoyak-koyak oleh musuh-musuhnya, maka seruan Jihad telah menjadi fardhu ain atas setiap Muslim. Diantara perintah jihad masa kini adalah mempelajari semua bentuk potensi yang dianugerahkan Allah  di seluruh pelosok daratan lautan, dan udara. Pengetahuan tentang cara memanfaatkan semua potensi tersebut sangat diperlukan dan harus diprioritaskan daripada ilmu-ilmu lainnya.

Membangun umat Islam kembali mengharuskan para politisi, dai, dan fuqaha secara bersama-sama berpikir keras untuk memerangi berbagai peradaban sesat yang datang dari luar Islam serta segala bentuk khurafat yang datang dari internal tubuh Islam. Adalah kemunafikan atau penegecut apabila kaum Muslim sibuk dengan amalan-amalan sunat sebelum menyempurnakan berbagai fardhu yang selama ini terlupakan.

Terkait akhlak, ini memiliki kisah yang tidak boleh dilupakan. Di sana terdapat akhlak yang tumbuh dari baiknya pengetahuan tantang Allah atau dari ketulusan akidah tauhid. Apa yang harus saya katakan tantang sesorang yang takut kepada kepada manusia lain, tetapi tidak takut kepada Allah? Meminta keridhaan dari manusia, tetapi tidak mengharapkan ridha dari Allah? Bergantung kepada makhluk  dan tidak bergantung kepada Allah? Apakah dapat dikatakan bahwa orang seperti ini adalah seorang Muslim sejati?

Saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri kita? Sesungguhnya kita mati dan sekaligus mematikan Agama ini. Saya menyaksikan para pekerja kurang senang menekuni pekerjaannya dan para pegawai kurang senang kepada pengabdiannya, sementara pemimpin kurang memperhatikan kesejahtaraan mereka. Sesungguhnya, masalah akhlak jauh lebih penting daripada masalah-masalah lain. Apalagi, akhlak dalam tradisi Islam adalah berpusat pada iman kepada Allah dan tidak bersumber dari ajaran filsafat manapun.

Allah Mengingatkan di dalam Al-Qur'an;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”. (QS. An-Nisa’ 135).

Maka janganlah menunggu keadilan dan kesaksian yang bersih dari seseorang yang hatinya rusak, kenyataan orang-orang memusuhi Islam, menyerang Islam dari sektor akhlak serta menciptakan generasi yang tidak peduli dengan agamanya. Islam harus memilik umat yang benar-benar tulus melaksanakan ajaran-ajarannya; memberikan gambaran tentang Islam dengan ajaran kebenaran yang sebenarnya.

Saya melihat bahwa kebangkitan Islam pada zaman kita sekarang harus dimulai dengan menciptakan generasi baru dan menyelamatkan risalah Islam dari bencana yang menimpa. Sesungguhnya negara-negara Islam hendaknya melakukan berbagai upaya pendekatan satu sama lain. Seperti dibentuknya persatuan regional sebagaimana telah terealisasi dalam negara-negara Teluk, negara-negara lembah Nil, dan negara-negara Maghribi. Tetapi dengan satu syarat yaitu; semuanya bertujuan untuk mempersatukan seluruh kaum Muslim dalam satu badan dan ruhnya dalam Islam.

Wallahu’alâm bis showâb

 

 

 

  

Catatan:

Jawaban Syaikh Muhammad al-Ghazali di atas, disarah dari buku beliau yang berjudul Mi’Atu Su’Al ‘an Al-Islam, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Al-Ghazali Menjawab 100 soal Keislaman. Penerjemah Abdullah Abbas, penerbit Lentera Hati. Jakarta; 2010 cetakan 1, April. 838 hal. Adapun khusus penggalan pertanyaan ini pada urutan pertanyaan ke 99, hal. 824-829.   



[1] Bukan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (hujjatul Islam). Syaikh Muhhammad al-Ghazali seorang Ulama, intelektual, penulis lahir di Mesir tahun 1335 H/ 1917 M dan wafat di Arab Saudi pada tahun 1996. Beliau banyak mendapat banyak jabatan seperti penasihat Al-Azhar, direktur urusan masjid, direktur dakwah wal Irsyad, dll.