Senin, 06 Desember 2021

Alasan Barat Menjadi Sekuler-Liberal

Fadhil Sofian Hadi

Post-Graduate Student University of Darussalam (UNIDA) Gontor

 

 

Apabila pembaca ingin memahami dengan jelas hakekat Barat dan Liberal silakan baca Miyskat[1] karya Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi atau ingin menyelami makna kata “Sekuler”[2] silakan merujuk buku Islam and Secularism karangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Jika di dalam buku Misykat dengan perinci dibahas tentang "Barat", "Liberal" dan kupasan bernas mengenai pembahasan "Sekuler", namun di dalam buku Islam and Secularism  dijelaskan dengan perinci makna  primordial, asal-usul (the origin) dan sejarah dari kata Sekuler, Sekulerisasi dan Sekulerisme. 

Buku Islam and Secularisme ini dinobatkan sebagai buku terbaik pada masanya bahkan hingga sekarang belum ada buku dengan penjabaran lengkap dalam mengurai dan membongkar makna ‘sekuler’ sebagai doktrin dan persoalan pemikiran yang berkembang dari Barat hingga telah berkembang luas di negara-negara Muslim di dunia.  Buku ini juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, Farsi, Turki, Bosnia, Urdu, Tamil, Kosovo, Arab dan bahasa lainnya. Karenanya, silakan miliki bukunya sebab buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Adapun, judul tulisan ini merupakan rangkuman dari Jurnal yang ditulis oleh Dr. Adian Husaini dengan judul Pelbagai Faktor Mendasar Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal. Akan tetapi setelah saya melacak situs jurnal yang memuat tulisan ini, tidak saya temukan lagi jejak  digitalnya, yang ada sebaliknya keluaran buku dengan tajuk yang sama dengan judul di atas. Namun hal tersebut tidak menjadi problema, sebab pesan inti dari buku tersebut telah termaktub dalam jurnal yang dimuat . Saya  yakin Dr. Adian Husaini telah menerbitkan tulisan yang berbentuk monograt tersebut. Sebab jika telah diterbitkan menjadi sebuah buku, maka pembahasan lebih dalam dan jelas.

Kenapa Barat menjadi Sekuler-Liberal? Pertanyaan ini cukup menarik, namun pelik dijabarkan. Dr. Adian Husaini menyodorkan tiga faktor penting yang menjadi background Barat memilih sekuler-liberal. Pertama, trauma terhadap sejarah, khususnya hubungan antara dominasi agama (Kristen) pada zaman pertengahan. Kedua, teks Bible. Ketiga, masalah teologis Kristen. Dari ketiga faktor tersebut, menjalar kepada masalah-masalah lain hingga pada ujungnya lahirlah prilaku berpikir Barat yang sekuler-liberal.

Mari kita selidiki satu demi satu ketiga faktor tersebut. Pertama, trouma sejarah. Di dalam sejarah Kekristenan ditemukan banyak sekali perpecahan dan kanflik antar kelompok yang melahirkan perlawanan, peperangan dan akhirnya persekusi terhadap yang menentang Gereja. Sejarah ini bermula tatkala zaman Konstantine, Antioch dan Alexandria. Kemudian, Konstatinopel dengan Roma, berlanjut kepada Katolik dan Protestan hingga antar beberapa aliran sekte dalam Kristen. 

Selepas konflik, perselisihan serta ketegangan berdarah antara beberapa kekuasaan dan Gereja, akhirnya timbul kalangan Krsiten yang berpikir bahwa aturan kehidupan yang toleran dan harmoni antar golongan masyarakat hanya dapat dilakukan jika kekuasaan Gereja untuk mengatur masalah politik dihilangkan, begitupun juga campur tangan negara terhadap Gereja.[3] Maksudnya kalangan Kristen yang trauma dengan kekuasaan Gereja yang secara sporadis menghukum, menyiksa bahkan membunuh (Inkuisisi) siapapun yang menentang keputusan Gereja. Di mana-masa itu Gereja mempunyai otoritas kekuasaan tanpa kendali.

Kekejaman Inkuisisi Gereja telah memunculkan berbagai protes, kecaman dan kritikan dari kalangan Kristen sendiri. Bukan tanpa alasan, mereka mengecam dan protes karena melihat yang menjadi korban tidak hanya dari kalangan Kristen sendiri yang dianggap menyimpang (heretics)[4] dari doktrin resmi Gereja, namun kelompok lainnya yang dianggap mengancam doktrin dan hegemoni Gereja, seperti kaum Muslim, Yahudi, tukang-tukang sihir dan sebagainya harus dilenyapkan. Jika pembaca ingin mengetahui bagaimana kekajaman Inquisisi Gereja, silakan baca Holy War: The Crusades and Their Impact on Theology’s World karya Karen Armstrong.[5] Atau tulis saja di Google Search kata “inkuisisi”.

Kedua, Teks Bible. Pada faktor kedua Dr. Adian Husaini mengupas bagaimana problema ini berkaitan dengan otoritas teks Bible dan makna yang tercantum di dalamnya Bible tersebut. Jika berbicara Bible maka berbagai spekulasi mengenai keasliannya hingga kini masih diperdebatkan. Bahkan perdebatan tersebut tidak datang dari umat Islam, Hindu, Budha, Konghucu atau pengikut Zoroaster. 

Perdebatan tersebut datang dari kalangan Umat Kristen sendiri. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan versi Bible yang berbeda-beda. Herannya, ada sebagian kalangan dari Muslim yang akhir-akhir ini menyatakan bahwa isi Bible itu sangat indah. Padahal potongan barisan ayat “keindahan” dalam Bible tersebut sama-sekali tidak mendekati “se-centimeter” pun dari kaindahan kata dalam al-Qur’an. bahkan ini dibantah oleh Norman Daniel yang mengatakan “The Qur’an has no parallel outside Islam”[6]

Teks (old Testament) perjanjian lama (Hebrew Bible) hingga saat ini menurut Richad Elilot Friedman masih menjadi misteri. “Siapa yang menulis Kitab ini masih menjadi misteri” tegasnya. Friedman memberikan contoh seperti the Book of Torah, atau the Five Book of Moses. Bahkan Friedman mangatakan bahwa The Five Book of Moses merupakan teka-teki paling tua di dunia. Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan bahwa Moses (Nabi Musa) adalah penulisnya. Dan dalam teksnya banyak ditemukan berbagai kontradiksi.[7]  

Adapun Bible, Perjanjian Baru (The New Testament) tidak jauh beda dengan teks perjanjian lama yang menghadapi banyak masalah otentisitas dan orisinilitas teks. Seorang guru besar bahasa Pernjanjian Baru Profesor Bruce M. Metzger menulis dalam pembukaan bukunya ada dua kondisi yang dihadapi para penafsir Bible. Kesatu. Tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini. 

Kedua, Bahan-bahan yang ada sekarang ini beragam dan berbeda satu dengan lainnya. Intinya, banyak sekali terdapat ketidaksesuaian dalam teks Bible. Hal ini tentu memicu spekulasi penafsiran yang beragam dan karenanya faktor Teks Bible ini sangat rentan menjadikan beberapa pengikut Kristen tidak lagi percaya akan otoritas Gereja, yang mengaku sebagai satu-satunya wakil Tuhan di Bumi.

Ketiga, masalah Teologi Kristen. Pemasalahan kristologi di Barat berasal dari sebuah fakta bahwa konsep Tuhan adalah sebuah masalah. Perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus (Kristologi) dari pemikir Kristen berpengaruh ditemukan kesimpulan bahwa kekacauan pemikir Kristen dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural dan kesimpangsiuran itu buah dari sejarah kebudayaan di Dunia Barat sendiri. Hal ini direkam oleh C. Groenen dalam bukunya Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Yesus Kristus pada Umat Kristen.[8]

Di dalam sejarah peradaban Barat, perdebatan dan problema teologis tak kunjung berakhir. Ilmuan dipaksa tunduk pada doktrin teologis yang mereka sendiri tidak memahami dan tidak mengerti konsep teologis mana yang dimaksudkan. Maksudnya, jika doktrin teologis bertentangan dengan nalar-rasional keilmuan, haruskah itu diklaim sebagai sebuah kebenaran? Hal inilah yang mendapat protes keras dari ilmuan Barat. Sehingga terjadilah benturan pemikiran dan kesimpangsiuran pemahaman mengenai konsep ketuhanan. Jika membaca sejarah teologi Kristen terdapat banyak sekali kontradisksi mengenai ketuhanan Yesus, apakah Yesus Tuhan atau manusia? Dan pelbagai masalah teologis pelik lainnya. 

Pada masa pertengahan di Barat rasio harus didudukkan (subordinasikan) kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filsafat tidak dipakai untuk mengkritisi atau menentang dotrin Gereja. Semuanya harus tunduk di bawah teks Bible dan otoritas Gereja. Bahwakn Gereja saat itu mengajrkan hal-hal yang bertentangan dengan rasio akal dan ilmu pengetahuan para ilmuwan Barat. Puncaknya G\seorang ilmuwan Barat seperti Galileo Galilei (1546-1642), Nicolaus Copernicus (1473-1543) serta pengagum Copernicus yakni Giardano Bruno (1548-1600) dibakar hidup-hidup oleh otoritas Gereja.[9]

Puncaknya, pada masa inilah  ilmuan Barat atau pemikir Kristen menyuarakan pertentangan terhadap otoritas Gereja yang semena-mena. Pemikir Barat Kristen tidak mau lagi terikat dengan agama di bawah doktrin Gereja. Mereka ingin lepas, bebas, liberal dari kungkungan doktrin Gereja. Mereka ingin hidup bebas dari campur tangan agama, memilih menentang segala teks Bible, mereka trauma dengan sejarah kekejaman Gereja serta memilih hidup terpisah dengan tidak melibatkan peran agama dalam hidup keilmuan dan pemikiran mereka.

Demikianlah ketiga faktor yang coba  disarikan. Masih banyak faktor-faktor lain pastinya yang belum terungkap. Beberapa faktor yang tersajikan hanya bagian yang mampu dianalisah secara sederhana mengapa Barat memilih Sekuler-Liberal. Sebuah perjalanan panjang yang harus diperjuangkan pemikir Kristen dengan darah hingga harus meregang nyawa. 

Semoga kita tidak terjerumus kepada paham Sekuler-Liberal.

 

Wallâhu ‘alâm bis showâb  

 



[1] Miyskat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Buku ini menjelaskan dengan jelas dan lugas arti Barat, Liberal dan sebagainya. Baca juga karya Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi Liberalisasi Pemikiran Islam. Lebih lanjut buku menarik karya Dr. Adian Husaini Wajah Peradaban Barat. Ketiga buku tersebut akan mencerahkan pembaca mengenai judul tulisan ini.

[2] Saya memilih diksi “sekuler” dari kata aslinya yaitu “sekular” untuk memudahkan pembaca dalam memahami dan melafalkan. Sebab orang Indonesia kadang ‘latah’ senang meniru-niru,  bahasa dan istilah yang datang dari  asing. Contoh kata “science” menjadi kata “sains” dsb.

[3] Silakan baca Bernard Lewis, What Went Wrong?: Western Impact and Middle Eastern Response, (Londoen: Phoenix, 2002), hal. 115

[4] Heretics dalam istilah Kristen berarti ajaran sesat. Ajaran sesat atau Aliran sesat, Heresi menurut Oxford English Dictionary, adalah "pandangan atau doktrin teologis atau keagamaan yang dianggap berlawanan atau bertentangan dengan keyakinan, atau sistem keagamaan manapun, yang dianggap ortodoks atau ajaran yang benar. Baca https://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_sesat

[5] Pada halaman 456, Karen Armstrong menggambarkan bagaimana Inquisisi Gereja menjadi salah satu institusi paling “jahat” dan “terror” dalam sejarah hitam Kristen. Armstrong menulis begini.  “Most of us would agree that one of the most “evil” of all Christian Institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century. Its methods were also used by Protestants to persecute and to control the Catholics in their countries”  

[6] Dalam bukunya Norman Daniel, Islam and The West: The Making of An Image, hal. 53

[7] Silakan baca Richard E. Friedman, Who Wrote the Bible, hal. 15-17

[8] Lihat Adian Husaini, Pelbagai Faktor Mendasar Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal, dalam Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam (Volume 3, No 1, Dzulqo’dah 1427), hal. 18-19

[9] E.A. Livingstone, Oxford Concise Dictionary of Christian Church, (Oxford: Oxford University Press, 1996), tentang problema teks Bible. Baca, https://id.wikipedia.org/wiki/Giordano_Bruno