Sabtu, 22 Juni 2019

Menyoal Kebijakan 'Asing' di Bumi Pertiwi


 
Oleh: Fadhil Sofian Hadi
Mahasiswa Pascasarjana Unida Gontor



Sebenarnya, tidak ada niat menuangkan opini sederhana ini mengenai carut-marut permasalahan bangsa yang semakin hari semakin chaos. Utamanya, tentang realitas mahalnya harga tiket pesawat lintas nusantara yang marak belakangan ini. Namun, setelah membaca berita berbagai media online yang lalu-lalang dengan judul serampangan membuat otak ini lebar untuk berkomentar. Di tambah dengan membaca komentar pedas para netizen, protes, keluhan, ketidak setujuan, hingga pada kesimpulan mereka harus gigit jari tanpa bisa mendapat solusi.

Reaksi masyarakat awam yang membaca headline berita terutama di media-media mainstream diberbagai platform seperti Televisi, berita di internet, online, offline, cetak maupun elektronik geleng-geleng kepala bahkan terbawa gerus ungkapan ‘it doesn’t make sense!’ Itu tidak masuk akal! Alias ‘dungu’ memakai istilah RG. Pasalnya, beberapa kebijakan pemerintah atau solusi para elite negeri antah-berantah ini sepertinya ingin menjadikan ‘asing’ sebagai sumber solusi. Solusi bagi seluruh sektor bidang pertumbuhan dan pembangunan khususnya, industrialisasi negeri ini. Terlepas dari suhu perpolitikan yang sedang melahar. Benarkah negara ini sudah kekurangan atau kehilangan ahli? Sehingga, negara yang pernah menjadi Macan Asia, atau negeri yang pernah dijadikan Guru oleh negeri upin-ipin ini, selalu menggandeng ‘asing’ dalam setiap pengelolaan sektor apapun, ketimbang menyaring aspirasi para ahli negeri sendiri?

Dulu, ketika anak-anak kecil ingusan di sekolah dasar, ditanya oleh gurunya, “apa cita-citamu nak?” sang anak menjawab polos. “Aku ingin seperti Habibi, Bu guru” sang guru mengangguk mengamini. Berharap kelak anak muridnya bisa seperti Habibi. Bukan hanya sang guru, namun para orang tua juga selalu mendoakan anaknya “Semoga kelak, kamu menjadi anak pintar seperti Habibi” Batin sang Ibu. Usut punya usut, setelah beranjak dewasa, anak udik itu baru menyadari jika negara ini punya seorang ikon manusia cerdas. Pantaslah, sang ikon itu menyandang gelar sebagai manusia tercerdas di Indonesia bahkan di dunia. Dialah sang Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai penyandang gelar “Ahlinya ahli, intinya inti core of the core. Meminjam istilah pak Ndul. 

Sayangnya, kecerdasan beliau kurang mampu memberikan pengaruh terhadap gerus ‘asing’ yang masih bercokol kuat di negara tercinta. Keahlian beliau sepertinya berat diwujudkan di bumi pertiwi. Kurang bukti apalagi untuk menguji kejeniusan dan keahliannya? Cita-cita besarnya setelah kuliah di Jerman, pulang ke Tanah Air dengan harapan, mendapat dukungan pemerintah untuk proyek pesawatnya. Kandas. Bahkan tergilas. Kenapa usulan-usulan bernasnya tak di gubris? Padahal, tahun 1995 beliau telah merancang teknologi pesawat super canggih N250. Pesawat yang akan menjadi jembatan udara antar pulau antar nusantara di bumi persada ini. Namun, hingga akhir hidup beliau yang senja, hingga detik ini, perusahaan Dirgantara yang digadang mampu menyelesaikan proyek tersebut tak dapat berkutik oleh politik ‘asing’. Bangkai pesawat itu mangkrak, berkarat tak terawat.

Semua pasti sudah tahu alsannya. Jika saja pesawat N250 berhasil di produksi di tanah air, maka dunia akan mengalami ancaman serius dalam pasar bisnis penerbangan di Bumi Pertiwi. Boeing dan Airbus tak akan pernah masuk Indonesia. Boeing dan Airbus akan gigit jari. Merengek mencari pasar. Dan, secara otomatis tidak akan pernah ada dalam sejarah harga tiket pesawat  hingga 21 juta di headline berita nasional. Tak akan ada ucapan Menteri Perhubungan; “Tiket mahal, naik Bis aja” atau ungkapan “Tiket pesawat mahal, salahkan Traveloka dan Tiket.com.” Hingga kesimpulannya, presiden berfatwa “Undang maskapai ‘asing’ supaya harga tiket pesawat turun”.  

Semudah itu kata ‘asing’ itu keluar dari mulut seorang presiden? 

Sesimple itu kah? Jika mengundang maskapai ‘asing’ lantas kompetisi udara akan kelar?

Kemanakah para ahli tehnik, ahli pembangunan, ekonomi, industri, dan ahli-ahli lain yang dilahirkan oleh Universitas-universitas elite dan kampus ternama negeri ini? ITB. IPB. Bahkan ratusan kampus besar lainnya. Apakah kemampuan mereka dalam membangun dan menata negeri ini di bawah standar ‘asing’? Sehingga kejeniusan mereka tidak dilibatkan dan campakkan seperti sampah! Sebegitu pentingkah peran ‘asing’ bagi ibu pertiwi ini. Pertiwi yang merelakan anak negeri manjadi penonton, pemulung, tukang parkir, tukang ojeg, buruh, penjual remote jalanan, hingga guru-guru susah-payah mendidik, mengajar dan menancapkan cita-cita di pundak anak-anak itu, setelah tamat sekolah dan kuliah menjadi penjual martabak.

Bila ‘asing’ menjadi prioritas tak usah tanya siapa yang minoritas. Tidak sulit menjawabnya. Lihatlah manusia-manusia yang Ikhlas hidup di bawah reruntuhan rumah mereka sendiri. Mereka yang rela kelaparan di bawah kolong-kolong tambang dan pembuangan. Itulah minoritas. Minoritas di negeri mayoritas. Mayoritas yang tidak pernah menjadi prioritas. 

“Sesak sekali napas rakyat jelata.. Melihat fakta di tanah melimpah nan-kaya raya. Harta hanya milik penguasa. Haram disita atau diperiksa KaPeKa. Rakyat sudah tak berdaya. Menyaksikan drama penguasa. Buas. Rakus. Tamak nan Durjana.” Sebuah syair dari unanimous.
 
Bukan karena tidak percaya elite penguasa. Tapi, sebagai warga pribumi kami menuntut kepercayaan itu. Kepercayaan yang tidak diberikan kepada anak pribumi untuk berkontribusi memajukan bumi pertiwi. Kepercayaan yang satu-satunya menjadi harapan kami. Kepercayaan yang menjadi tumpuan hidup kami. Kepercayaan sebagai semangat tumpah dan darah kami.

Kepercayaan yang tak akan pernah kami khianati. Namun, kini kepercayaan itu di rampas ‘asing’ dicuri ‘asing’ dikelola ‘asing’ dibeli ‘asing’. Entah berapa tahun lagi, Bumi Pertiwi, akan atau menjadi milik ‘asing’ dan benar-benar semua menjadi ‘asing’. Jika sebuah kepercayaan saja mampu dirampas ‘asing’ maka tidak ada lagi yang lebih penting dari itu. Percayalah! Kecuali, hanya do’a berserah kepada yang Maha Kuasa, untuk kebaikan tanah air tercinta.

Jika keahlian sang jenius Habibi, tak dilirik oleh para elite penguasa dalam mewujudkan N250 sebagai pelopor canggih saat itu, akankah nasip pesawat dengan prototype baru R80 karya sang anak, Ilham Habibi akan bernasip sama? Tergerus? Tergilas? Oleh elite AVTUR ‘asing’ atau sebaliknya, MAMPU menjadi solusi dalam melawan hegemoni ‘asing’ di bumi pertiwi? Entahlah!

Waktu pun ragu untuk menjawab.
Wallahu’alam bisshowab. 

Artikel ini juga pernah di terbitkan di https://www.abdulmajid.id/ dengan judul “Melawan Hegemoni Asing”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar