Senin, 02 Januari 2017

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Enam)

https://smaalikhlastaliwang.files.wordpress.com/2014/12/masjid-pondok-al-ikhlas.jpg
 Oleh: Sofian Hadi
Unida Gontor, 2 Januari 2017.

Abridin duduk menyendiri di belakang kelas. Ia duduk di atas bangku panjang ukuran dua meter. Bangku itu memiliki empat kaki penyangga. Waktu istirahat jam kedua itu ia ingin gunakan untuk sejenak merenung. Tatapannya lurus tertuju ke arah gunung Samoan. Gunung itu berdiri tegak. Gagah. Perkasa. Gunung Samoan begitu indah ketika musim hujan menghampiri. Terlihat dari kejauhan tanah Rabbani, pucuk-pucuk daun hijau muda bergoyang riang. Laksana layar kapal pelaut dalam film Popeye the Sailor Man dengan gerakan daun yang mengikuti arah angin berhembus. Akan tetapi keindahan pucuk daun pohon hijau di gunung itu akan berubah menjadi kuning, bak warna kuning padi yang siap panen. Sekeliling gunung itu pada malam hari berubah menjadi Ring of Fire lingkaran api. Seperti itulah takdir Samoan ketika kemarau melanda. 

Tidak terasa sudah sepuluh menit Abridin duduk menyendiri di belakang kelas. Ia sepertinya menyimpan suatu permasalahan dalam batinnya. Permasalahan tentang keluargaanya di Flores sana? Permasalahan dengan teman-temannya? Permasalahan dengan Mukhlis? Atau permasalahan dengan ku. Entahlah.. Namun terkaan-terkaan itu bisa menjadi hipotesa awal dari sebuah permasalahan yang bisa di analisis.

“Assalamualaikum.. Din, kamu sedang apa?” Terdengar suara dari samping tembok kelas menuju belakang, tempat Abridin duduk menyendiri. Ia sepertinya tidak mengindahkan salam itu.

“Assalamualaikum.. Abridin.!!”

“Waalaikumsalam.. Eehh.. Kamu Lis.” Dengan suara kaget Abridin menjawab salam dari Mukhlis.

“Kamu sedanga apa Din.? dari tadi aku mencari kamu ke syirkah, marth’am, hujroh, maktabah, tidak ada. Ternyata kamu disini. Kalau ada masalah jangan simpan sendiri, tidak baik dipendam sendiri, siapa tahu aku bisa membantumu.” Mukhlis mencoba menawarkan empati.
“Atau kamu masih marah dengan aku, karena kepalaku tidak di gundul..?”

”Bukan,, bukan Lis, aku tidak marah dengan kamu, aku hanya memikirkan kedua orangtuaku di kampung sana. Pasti sekarang mereka sedang sibuk membajak di sawah, dan bapak sendiri yang bekerja, karena ibu hanya bisa mengantarkan nasi untuk bapak saja. Sementara aku disini bermain-main dan selalu melanggar disiplin, belajar juga tidak beres dan bahasa arab ku masih sangat kurang.” Abridin mencoba menceritakan masalah yang dipendam kepada sahabatnya.

“Aku sudah menduga, pasti kamu sedang membayangkan kedua orangtua mu, terlihat dari tatapan wajahmu memandang gunung Samoan yang hijau itu. Sebenarnya aku berfikir layaknya kamu Din, aku juga membayangkan orangtua ku yang sedang bekarja mencari nafkah untuk ku, namun seperti kata Pak Kiayi Ilham ketika pertama kali kita masuk ke tanah Rabbani ini, kalau tidak salah di acara Kuliah Umum tentang Kepesantrenan beliau mengatakan: 

“Anak-anak ku kalian masuk kedalam tanah Rabbani ini sebagai mujahid-mujahid Islam, kalau kalian mati maka kalian Syahid di jalan Allah, karena kalian sedang menuntut Ilmu,

 
مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ اْلعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Barang siapa yang keluar rumah untuk mencari ilmu maka ia ada di jalan Allah hingga ia kembali.” (HR. Tirmidzi No 2575).

“Beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa tugas kita disini hanya belajar dan mendo’a kan kedua orangtua kita yang sedang bekerja” jelas Mukhlis dengan panjang lebar. Mukhlis hanya ingin menghibur sahabatnya yang sedang di himpit masalah dan lara itu.

“Ia Lis, aku lupa kalau pesan pak Kiayi Ilham waktu itu luas akan lautan hikmah, aku lupa mencatatnya di buku catatanku, tapi pesan yang paling aku ingat adalah Jangan seperti pengikut Colombus mereka tidak percaya dengan Colombus dan akhirnya sebagian dari mereka memilih untuk turun dari kapal itu.” Terang Abridin dengan wajah tiba-tiba sumrigah.

“Ia Din, aku setuju dengan kamu, bahwa kita jangan sampai seperti pengikut Colombus, kita jangan sampai menyerah untuk belajar, kita harus semangat, dan kita harus sering mendo’akan orangtua kita Din.”
“Ya Lis, terima kasih sudah membantu ku dalam masalah ini”
“Sama-sama Din, semoga Allah selalu menjaga Pak Kiayi Ilham, Ustad-ustad dan orangtua kita semua”
Amiin..
Suara Jaros pagi menjelang siang itu memekik telinga, kedengarannya bahkan sampai ke Kemutar Telu Center di Kota Taliwang. Mereka pun mengakhiri curhatan dan nasehat masing-masing. Sejurus kemudian, terdengar derap sepatu para santri mulai datang ke kelas masing-masing, untuk menerima pelajaran setelah istirahat jam ke dua.

To be Continued.
Untuk Melihat Bag. Lima klik disini



Tidak ada komentar:

Posting Komentar